Mohon tunggu...
Waskito Aji Suryo Putro
Waskito Aji Suryo Putro Mohon Tunggu... -

abdi masyarakat khususnya di dunia pendidikan. domisili di kalimantan barat tepatnya di pedalaman kabupaten landak dan berbatasan langsung dengan negara tetangga. gemar sekali bersosialisasi dan hobby sekali semua yang berbau ilmu baru. mulai menyukai menulis sejak lama tapi baru bisa terealisasikan semenjak merasakan aroma senggama dengan alam yang kian mencekik. =) manuskrip telaga

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

(alam) menurut orang DAYAK

8 November 2015   01:47 Diperbarui: 8 November 2015   01:47 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(alam) menurut orang DAYAK

 

Alam tidak dipandang sebagai aset atau kekayaan,melainkan sebagai rumah bersama. Konsep rumah bersamaini sangat jelas terlihat dalam setiap upacara adat tertentu dimana selalu terdapar unsur permisi pada penghuni alam ini. Bahkan dalam kegiatan memilih lahan yang akan digarap sebagai lahan ladang yang baru (menyadam), intinya adalah meminta ijin dari penghuni lokasi yang akan digarap. Suara burung tertentu atau binatang menjadi sarana komunikasi antara manusia dengan penghuni alam yang lain.

Dengan memperlakukan alam sebagai rumah bersama antara manusia dengan makhluk yang lain, maka perlakuna terhdapa lam juga menjadi berbeda. Alam tidak akan di eksploitasi demi kepentingan manusia semata, melainkan juga dengan memperhatikan kepentingan makhluk lainya. Karenanya, kegitan yang bersifat eksploitatif dan dekstruktif selalu dihindari demi menjaga keharmonisan antara manusia dengan makhluk hidup lainya yang berada di alam bebas.prinsip pemanfaatn yang berkesimnambungan ini juga tergambar dengan jelas dalam adat istiadat memanen jenis buah tertentu. Pada msyarakat dayak JELAI dan sekitarnya.

Kutipan singkat yang mengawali tulisan ini, diambil dari pepatah orang dayak JELAI. pepatah tersebut menggambarkan dengan singkat, tegas lugas maksna hidup sejahtera bagi orang dayak JELAI. jelas sekali bahwasanya "kesejahteraan" yang digambarkan di sini tidak berkaitan langsung dengan kemewahan dan materi seperti: uang yang banyak, rumah yang mewa, pakaian yang indah, perhiasan yang menjadi ukuran kesejahteraan secara umum. namun kita melihat sehari-hari untuk mencapai kesejahteraan menurut gambaran yang pertama, orang harus merelakan gambaran yang kedua, demikian pula sebaliknya, untuk memperoleh gambaran yang kedua, orang harus merelakan gambaran yang pertama.

Kesejahteraan lalu disamakan dengan kelimpahan materi. Dengan semakin bertambahnya penganut aliran kedua ini, maka kondisi yang seperti digambarkan dalam pepatah yang diatas semakin sulit ditemukan. Sasak sudah berganti dengan lumpur, ikan lebih mudah ditemukan di tambak, kolam berganti di aquarium daripada di sungai dan bahkan suara kicau burung di hutan pun semakin sulit untuk didengar.

Bagi orang dayak, fenomena ini mungkin sudah menjadi awal kehancuran total (genocide). Alam, terutama tanah, hutan dan sungai adalah tiga elemen utama yang memungkinkan orang DAYAK tetap menjadi orang DAYAK. Ketiga unsur itu telah menjadi unsur identitas sendiri bagi orang DAYAK tersendiri selama ribuan tahun yang lalu, dan yang sampai sekarang lahir suku DAYAK, adat DAYAK, budaya DAYAK bahkan kepercayaan DAYAK.

Budaya dayak yang terlahir dalam tradisi lisan memerlukan ketiga unsur tadi. Upacara-upacara adat, ritual dan kepercayaan orang dayak melekat erat dengan alam sekelilingnya. BELIAN tidak akan berlangsung jika terdapat hutan tempat mengambil peralatan-peralatan upacara dan tanaman obat yang diperlukanya. Upacara menjulang atuk tidak akan mungkin dilakukan jika tidak ada hutan untuk digarap. Upacara mandi’ (sumbang-kapung) tidak mungkin dilakukan jika sungai-sungai telah berubah warna nya atau tercemar bahkan diubah menjadi waduk. Jelas sekali bahwa alam terutama hutan beserta isinya memiliki fungsi sosia-budaya bagi orang dayak, bukan hanya secara ekonomis semata.

Pebghancuran terhadap lingkungan orang dayak sendiri terjadi dimulai dari pengingkaran terhadap fungsi sosial-budaya hutan bagi mereka. Perundang-undangan yang ditetapkan di bidang kehutanan, misalnya, sama sekali tidak menyinggung fungsi sosial-budaya hutan. Hutan diperlakukan sebagai “emas-hijau” yang terus dieksploitasi untuk menghasilkan uang sebanyak-banyaknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun