Mohon tunggu...
Wasis Priyo Nugroho
Wasis Priyo Nugroho Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pengamat

Mahasiswa Psikologi dan memiliki minat kajian riset mengenai psikologi, budaya, hubungan interpersonal dan filsafat psikologi.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Mengakhiri Siklus Anak yang Bekerja: Kami Seharusnya Belajar dan Bermain

13 Oktober 2023   10:00 Diperbarui: 13 Oktober 2023   10:10 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Fenomena anak-anak yang menjadi pengemis, pengamen, hingga berjualan merupakan hal yang tidak asing di Indonesia. Kondisi tersebut sering diakibatkan oleh permasalahan faktor ekonomi keluarga yang menyebabkan anak-anak terpaksa menjadi tulang punggung keluarga dengan bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga. Berdasarkan pasal 1 ayat 1 dalam undang-undang nomor 23 tahun 2002 yang berbunyi “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”, undang-undang tersebut menunjukkan bahwa individu yang berada di bawah rentang usia 18 tahun masih tergolong sebagai anak, sehingga hak-hak sebagai anak wajib terpenuhi termasuk untuk menempuh pendidikan dan tidak untuk bekerja. 

Peraturan terkait undang-undang perlindungan anak sesungguhnya merupakan salah satu cara pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan pada anak, namun dengan menyimak permasalahan yang terjadi tentunya dapat memberikan gambaran bahwa undang-undang perlindungan anak belum sepenuhnya berimpilkasi terhadap kehidupan anak. Selain itu, permasalahan ekonomi sering dikaitkan pada kewajiban anak untuk membantu orang tua dengan bekerja. Namun mirisnya kondisi tersebut dipandang sebagai hal yang positif karena anak yang bekerja dianggap dapat meringankan pekerjaan orang tua untuk memenuhi kebutuhan keluarga, tetapi hal tersebut tidak disadari dapat memberikan dampak negatif terhadap perkembangan psikologis anak.

Anak yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga disebut dengan istilah parentification, yaitu keadaan ketika anak dilimpahkan peran untuk bertanggung jawab seperti orang tua atau pengasuh dalam keluarga. Parentification dapat menimbulkan sejumlah konsekuensi negatif seperti kehilangan masa kecil, berkurangnya kemampuan akademis, meningkatnya stres, kecemasan dan keluhan fisik. 

Peneliti asal Polandia yaitu Borchet pada tahun 2022 menjelaskan bahwa dampak dari parentification sangat bervariasi serta memiliki konsekuensi positif maupun negatif karena sangat bergantung pada perlakuan orang tua terhadap anak. Dampak positif dari parentification yaitu anak dapat mengembangkan keterampilan diri, merasakan empati terhadap orang lain, dan mengembangkan kepercayaan diri karena berhasil menuntaskan pekerjaan tertentu. 

Namun, dampak negatif dari parentification dapat membuat anak mengalami tekanan karena merasa terbebani dengan tanggung jawab hingga kehilangan masa kanak-kanaknya. Akan tetapi, akibat dari parentification memiliki kecenderungan mengarah pada dampak negatif karena anak dipaksa untuk melakukan aktivitas yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan yang seharusnya.

Jika mengacu pada teori ecological systems dari Brofenbrenner, permasalahan anak yang bekerja dapat berangkat dari tingkat microsystem (keluarga) hingga pada tingkat yang lebih luas yaitu macrosystem (aturan, nilai-nilai sosial, budaya). Teori ecological system menekankan pada pentingnya lingkungan terhadap perkembangan manusia yang meliputi keluarga, komunitas/masyarakat hingga sistem yang lebih luas serta memiliki hubungan timbal balik yang dapat memengaruhi terbentuknya tingkah laku dan kepribadian individu.

Berdasarkan teori dari ecological systems, keluarga termasuk ke dalam microsystem yang memainkan peran penting dalam membentuk perkembangan anak karena lingkup ini merupakan tempat pertama anak untuk belajar, mendapatkan dukungan dan berinteraksi. Akan tetapi ditinjau dari kasus pekerja anak, keluarga yang seharusnya dapat menjadi tempat untuk tumbuh dan berkembang, justru menjadi inti dari permasalahan yang menyebabkan seorang anak harus mengemban tanggung jawab dalam mencari nafkah demi menggerakan roda ekonomi keluarga. Dalam bukunya yang berjudul “Lost Childhoods, The Plight of The Parentified Child” Jurkovic menjelaskan bahwa anak yang harus bekerja untuk keluarganya dapat membentuk rasa bertanggung jawab, akan tetapi hal tersebut dapat memberikan dampak negatif pada anak misalnya stres emosional dan masalah dalam interpersonal jika tidak dapat memenuhi tanggung jawabnya dengan baik. Hal ini beresiko menyebabkan munculnya rasa bersalah dari kegagalannya dalam memenuhi kebutuhan keluarga yang dapat berdampak negatif ketika anak sudah dewasa.  

Akan tetapi, munculnya kasus anak yang bekerja tidak dapat ditinjau dari permasalahan pada faktor ekonomi keluarga saja, melainkan terdapat faktor yang lebih besar yaitu mengenai kehadiran pemerintah dan masyarakat dalam memperjuangkan hak-hak anak. Jika berbicara mengenai kehadiran pemerintah, persoalan tersebut sudah memasuki tingkatan macrosystem yang di dalamnya terdiri dari sistem pendidikan, kebijakan pemerintah, hingga politik. Permasalahan yang terjadi pada tingkatan microsystem dapat dipengaruhi oleh adanya ketidakselarasan pada tingkat macrosystem sehingga memengaruhi tingkatan sebelumnya.

Maka dari itu, permasalahan yang terjadi pada microsystem dapat diperbaiki pada level  macrosystem dan tingkatan lainnya yang saling beketerkaitan mengenai kebijakan sosial atau implementasi nyata dari pemerintah dalam mengentas pekerja anak sebagai wujud kehadiran pemerintah dalam memberdayakan anak Indonesia. Sistem-sistem tersebut tidak secara langsung berhubungan dengan individu dalam kehidupan sehari-hari, namun segala perubahan dan inovasi yang dibentuk dapat memberikan dampak terhadap level microsystem dalam mengatasi permasalahan yang terjadi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun