Indonesia naik peringkat dalam Indeks Persepsi Korupsi. Kabar yang sedang hangat didengungkan saat ini bebarengan terpilihnya pimpinan KPK 2011-2015.
Terpilihnya pimpinan KPK yang baru diharapkan membawa angin segar di dalam formasi KPK dan perubahan menuju Indonesia bebas korupsi. Tidak lain meneruskan perjuangan para pendahulunya yang belum juga menuntaskan kasus korupsi besar. Itu harapan yang ada di benak rakyat Indonesia, berharap pimpinan baru menuntaskan utang korupsi. Meskipun Indonesia tahun ini sedikit lega dengan perolehan indeks skor 3 yang artinya Indonesia naik ke peringkat 100. Patut diacungi jempol usaha KPK yang sekiranya tidak terlalu sia-sia dalam menangani kasus korupsi.
Tidak terlena dengan naiknya skor dalam indeks korupsi. KPK masih menyisakan utang kasus korupsi kelas kakap yang sampai sekarang belum tuntas permasalahannya. Kasus Century, Kasus Wisma Atlet, suap pemilihan Deputi Gubernur BI. Selain itu, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dari Transparency International (TI) juga mengindikasikan bahwa Indonesia belum ada perbaikan signifikan di dalam pemberantasan korupsi. Kembali mengoreksi dan segera bertindak untuk melanjutkan perjuangan pimpinan terdahulu dibanding duduk di kursi saling berdebat dalam menangani kasus korupsi.
Indonesia memang naik peringkat, tetapi pemberantasan korupsi di Indonesia justru melemah. Dengan terpilihnya pimpinan baru di KPK berharap ada perubahan yang sangat signifikan dalam penanganan kasus korupsi. Antara harapan, janji dan tindakan nyata. Harapan masyarakat agar segera menuntaskan kasus korupsi kelas kakap yang masih diambang ketidakpastian dak kekurangseriusan KPK. Abraham Samad sebagai pimpinan yang vokal pun berjanji akan menuntaskan terlebih dahulu kasus besar. Janji yang cukup berat bagi pimpinan baru KPK. Pasalnya butuh keberanian dan ketegasan di pihak KPK dalam masalah ini. Janji tetaplah janji yang harus ditepati, rakyat Indonesia tinggal menunggu tanggal mainnya untuk melihat kenyataan sebuah janji pimpinan baru KPK. Menantikan prestasi dan perubahan yang signifikan. Meskipun sudah menduduki kursi penting dalam KPK tidak ada salahnya, bila sang pimpinan selalu berkaca dan senantiasa belajar dari negara yang sudah menempati 10 besar negara bersih dari korupsi versi Transparency International.
Berkaca dari Negara Terbersih
Menyambut Hari Antikorupsi Sedunia 9 Desember, Indonesia memang masih jauh dari harapan masyarakat menjadi negara bersih. Indonesia harus berjuang mati-matian dan lebih giat lagi dalam melawan kasus korupsi kelas kakap yang belum juga tuntas demi mencapai prestasi negara bersih. Meskipun agaknya Indonesia sedikit berbangga karena sudah menyicil skor dalam indeks korupsi. Namun demikian, tetap saja Indonesia masih berada di jajaran bawah negara-negara yang terbelenggu masalah korupsi. Di kawasan ASEAN, skor Indonesia berada di bawah Singapura, Brunei, Malaysia dan Thailand. Perlu ada pembenahan baik dari sisi internal KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi sekaligus penyembuhan penyakit korupsi yang semakin menggurita sedikit demi sedikit dengan selalu mengoreksi dan belajar.
Tidak ada salahnya Indonesia berkaca dan belajar dari Finlandia sebagai negara terbersih yang selalu dikantonginya setiap tahun. Komitmen dan konsisten itu yang dipegang teguh negara Finlandia. Hal ini menjadi catatan khusus bagi semua kalangan yang berkecimpung di dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Komitmen terhadap janji dan aturan yang ada.
Pemerintah sekaligus masyarakatnya tahu bahwa korupsi bermula dari kebohongan dan berbuat curang. Dengan dasar komitmen yang kuat hal sekecil apa pun yang hampir mengarah ke kasus korupsi tetap harus diberantas. Seperti halnya tokoh besar yakni Perdana Menteri (PM) perempuan pertama Finlandia, Anneli Jaatteenmaki berani mundur pada bulan Juni 2003 setelah dituduh berbohong kepada parlemen, dan rakyat menyangkut kebocoran informasi politik yang peka selama kampanye. Itu bukti keberanian pihak lembaga antikorupsi, pemerintah, dan masyarakat dalam memegang komitmen untuk mencegah tindak korupsi tanpa pandang bulu.
Pemberian sanksi yang lebih berat terhadap pelaku korupsi “tanpa pandang bulu”artinya tidak membedakan antara mantan presiden dan rakyat biasa itu yangmasih dipertanyakan realisasinya di Indonesia. Nyata Indonesia kalah berani dengan negara-negara lain yang tidak tebang pilih dalam menjatuhi hukuman pada koruptor. Mantan Presiden Chun Doohwan dijatuhi hukuman mati atas tuduhan menerima suap 279 jt dollar AS selama berkuasa. Mantan Presiden Roh Taewoo divonis 22.5 tahun penjara atas tuduhan menerima suap sebesar 349 juta dollar AS selama berkuasa (1988-1993). Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia juga semestinya menanamkan komitmen untuk tegas, tidak pilih kasih, berbuat jujur dan memperbaiki moral yang sudah bobrok secara konsisten. Bila sudah terlanjur mengakar tindak korupsi seperti ini, rakyat yang sangat dirugikan, sdah sengsara karena hartanya dirampas ditambah lagi dengan ketidakadilan hukum. Haruskah terus-terusan rakyat menderita? Tidak, pimpinan baru harus ada kesegaran baru di dalamnya baik dalam mengusut maupun menghukumi tindak korupsi.
Janji sudah dilontarkan oleh pimpinan baru KPK, Indonesia sudah menyicil kenaikan indeks skor, dan masyarakat sudah menaruh banyak harapan. Maka dari itu, bangsa Indonesia menunggu tanggal main KPK dalam menumpas kejahatan korupsi dari hal kecil sampai kelas kakap secara konsisten dan berani dengan tetap berpegang teguh pada komitmen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H