Judul di atas adalah kutipan dari pernyataan Maria Katarina Sumarsih yang dimuat di kompas.com. Sumarsih adalah ibu dari Bernardus Realino Norma Irmawan (Wawan), salah seorang mahasiswa korban Tragedi Semanggi I pada 13 November 1998. Sumarsih memprotes Presiden Joko Widodo yang sampai saat ini tak memberinya kesempatan bertemu. Padahal Sumarsih mengaku sudah tiga kali mengirim surat permohonan bertemu dengan Jokowi.
Berita lengkapnya silakan baca di link berikut: http://bit.ly/2ltk93N.
Sumarsih juga menolak rencana Menko Polhukkam Wiranto membentuk Dewan Kerukunan Nasional (DKN), yang ia sinyalir sebagai upaya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu dengan cara rekonsiliasi. "DKN itu, kabarnya, itu untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di negara kita, tetapi juga ada catatan di bawahnya, tidak tertutup kemungkinan akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Ini yang kami tolak," ucap Sumarsih.
Komitmen Jokowi soal pelanggaran HAM
Protes Sumarsih tentunya harus ditanggapi dengan konkrit oleh Jokowi. Dan untuk diketahui, Jokowi berkomitmen penuh menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Hal itu dapat dilihat di antaranya dari pernyataan Kepala Staf Kepresidenan, Teten Masduki , Jum’at (17/2) kemarin.
Menurut Teten, Jokowi sudah sejak lama menginstruksikan Wiranto dan Jaksa Agung untuk menyelesaikan tujuh kasus pelanggaran HAM masa lalu. Jokowi pun mempertanyakan mengapa sampai saat ini belum ada satu pun yang selesai. "Presiden bertanya, masak dari salah satu enggak ada yang selesai," kata Teten menirukan ucapan Jokowi, seperti dikutip dari detikcom.
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM di masa lalu, termasuk kasus Tragedi Semanggi I, adalah penting agar pemerintah tidak terus menerus tersandera kasus pelanggaran HAM masa lalu. Karena itu, Teten menandaskan, menteri yang diberi tugas seharusnya bisa bergerak cepat. "Pokoknya harus selesai, poinnya selesai," tuntas Teten.
Untuk diketahui, tujuh kasus pelanggaran HAM masa lalu yang dimaksud adalah: Kasus Trisakti, Tragedi Mei 1998, Semanggi I dan II, penghilangan aktivis 1998-1999, peristiwa 1965-1966, dan penembakan misterius 1982-1985.
Soal rekonsiliasi
Perihal opsi penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu secara rekonsiliasi atau non-yudisial, Jokowi mengakui tidak menutup kemungkinan itu. Hal ini disampaikan Teten menanggapi rencana Wiranto yang akan menempuh jalur rekonsiliasi dalam penyelesaian tragedi Trisakti serta Semanggi I dan II.
"Presiden tidak sampai ke tingkat detail itu (yudisial atau non-yudisial)," ucap Teten seperti dikutip dari detikcom. Hal yang terpenting, lanjut Teten, jalur mana pun yang ditempuh harus dipikirkan dan dikaji secara matang terlebih dulu.