[caption id="attachment_326857" align="aligncenter" width="471" caption="Ceu Popong santai mesti ditunjuk-tunjuk (foto: antara.com)"][/caption]
Saya sangat mengagumi Ceu Popong (Popong Otje Djundjunan). Ya, ini efek tadi sampai subuh nonton Sidang Paripurna DPR RI. Silakan Anda berbeda pendapat dengan saya. Anda bisa saja menilai Ceu Popong otoriter, tidak demokratis, nenek-nenek pikun, atau apalah. Bagi saya, jika saja bukan Ceu Popong yang menjadi pimpinan sidang, maka “politik tidak lagi menggembirakan” di negara ini. Ingat, pameo itu pernah menjadi salah satu jargon andalan Jokowi/JK di pilpres lalu!
Berkat Ceu Popong, sidang yang nampaknya akan berlangsung seram, tegang, tanpa senyum, berubah menjadi penuh kegembiraan, diselingi canda dan tawa. Walaupun diwarnai walk out empat partai Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan sempat ricuh akibat provokasi anggota DPR yang kekanak-kanakan, tapi Ceu Popong di usianya yang sudah sepuh (76 tahun) tetap bisa mengendalikan sidang.
Santai tanpa beban
Kesan lain yang saya salut dari nenek asal Bandung itu adalah sikapnya yang sangat tenang dan super santai tanpa beban. Coba kita perhatikan beberapa komentarnya pasca sidang. Saat ditanyakan bahwa Ceu Popong dinilai tidak demokratis, maka ia dengan simpel dan santai menjawab, “Mangga” (basa Sunda untuk kata Silakan).
“Demokrasi di negara kita sudah berjalan. (Dikritik tidak demokratis) tidak apa-apa, itu hak mereka,” kata Popong usai rapat paripurna. Bahkan ketika diteriaki macam-macam, diteriaki "nenek pikun" dan dianggap tidak serius memikirkan nasib bangsa, Ceu Popong nampak tak sakit hati dan biasa saja.
Apa yang membuat Ceu Popong bisa demikian santai tanpa dendam dan tidak sakit hati, karena baginya ketika seseorang terjun ke dunia politik harus bermental kuat dan total. “Eta mah biasa, kalau kita terjun ke dunia politik. Yang penting all out dan siap mental. Kalau nggak siap mental jangan masuk dunia politik,” kata Popong dengan logat Sunda-nya yang kental.
Belajar sama Ceu Popong
Melihat sikap Ceu Popong yang santai, tak mudah sakit hati, tak mudah dendam, legowo, tidak arogan, tidak egois, saya jadi ingat lagi dengan hubungan Megawati dan Presiden SBY. Saya punya andai-andai, jika saja Mega mau dengan legowo membuang sakit hatinya sama SBY, saya kira PDIP dan KIH tidak akan kalah untuk ketiga kalinya dalam pertarungan politik di DPR RI.
Seperti kita ketahui, PDIP dan KIH juga sebelumnya kalah di pertarungan RUU MD3 dan RUU Pilkada. Padahal andai saja PDIP dan KIH bisa me-lobby Partai Demokrat saja, hasilnya mungkin akan berbeda. Pastinya, mereka takkan dipecundangi lagi oleh Koalisi Merah Putih (KMP).
Ini penting dan jangan anggap saya anti-PDIP atau anti-KIH, justru saya mengkritik demi kebaikan. Soalnya, lima tahun ke depan PDIP dan KIH harus mengawal kebijakan pemerintahan Jokowi di DPR RI. Lah, kalau kalah terus bagaimana jadinya nasib program-program pemerintah. Lalu, imbasnya juga pasti ke rakyat juga, kan?
Oleh karena itu, menurut saya, selain belajar dari Ceu Popong, PDIP dan KIH juga mungkin mesti sedikit memperbaiki cara pandang berpolitik praktis-nya di DPR RI. Sering kali di panggung politik macam itu, kompromi (jika demi rakyat) adalah baik.
Sebagai contoh, terakhir saat pembahasan RUU Pilkada, kenapa PDIP dan KIH tidak ikut opsi SBY coba? Kalau saja ikut, sudah pasti Pilkada langsung yang menang!
Ayo perbaiki cara politik praktisnya, jangan sampai mengorbankan rakyat karena nanti tidak bisa mengawal kebijakan pemerintahan Jokowi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H