[caption id="attachment_351422" align="aligncenter" width="300" caption="Bali Nine (Sumber foto: http://www.phaseloop.com)"][/caption]
Rupanya pemerintah Australia masih punya satu cara untuk menekan pemerintah Indonesia agar membatalkan eksekusi mati dua warga negaranya yang terlibat dalam kasus narkoba dan merupakan bagian dari “Bali Nine,” Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Caranya adalah meminta Sekjen PBB Ban Ki-Moon untuk turut mendesak Indonesia.
Jadinya aneh ketika PBB ikut-ikut mengurusi hukum positif sebuah negara. Lebih lucu lagi, kenapa soal ini Ki-Moon ikut campur atas nama penolakannya terhadap penerapan eksekusi mati yang dia anggap tak beradab, sementara ketika TKI Indonesia dihukum mati di Arab Suadi dia diam saja. Atau mengapa juga Ki-Moon tak protes negara-negara seperti AS, Malaysia atau Singapura yang menerapkan hukuman mati.
Secara pribadi, saya melihat apa yang dilakukan Australia dan Sekjen PBB ini jadinya tampak sedang mem-bully Indonesia. Apalagi, Australia juga tak segan-segan main ancam yang kemudian ditekankan lagi oleh Ki-Moon.
Australia main ancam
"Kami akan mencari cara supaya rasa kekecewaan kami diketahui. Kami menghormati kedaulatan Indonesia tetapi kami akan lebih menghargai sikap kebesaran hati dalam kasus ini," begitu ancam PM Australia, Tony Abbott.
Selain kemungkinan menarik duta besarnya dari Indonesia, Australia disebut-sebut akan mem-boycott Bali. Mereka akan melarang warga negaranya untuk berlibur ke Australia. Dengan demikian Indonesia dan Bali akan merugi. Ancaman itu ditekankan oleh Ki-Moon. "Saya pikir orang Australia akan menunjukkan ketidaksetujuan mereka atas eksekusi ini. Dan itu menjadi salah satu pertimbangan mereka saat menentukan hendak ke mana saat liburan," tandas Ki-Moon.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Julie Bishop telah mengeluarkan ancaman agar Indonesia tidak meremehkan kekuatan permohonan publik agar eksekusi terhadap Chan dan Sukumaran dibatalkan. Dia menyebut, jika eksekusi tetap dilakukan, maka bisa saja warga Australia memilih untuk memboikot kunjungan ke Indonesia.
Jokowi bergeming
Inilah bagusnya Presiden Jokowi. Ia konsistend engan pendiriannya menolak grasi terpidana mati kasus narkoba. "Ini (eksekusi mati) adalah masalah mentalitas dan moral serta penegakan hukum terhadap mereka para penyelundup narkoba. Jadi 64 kasus yang diputus pengadilan, saya bisa pastikan ditolak. Sekalipun saya dapat tekanan dan dikirimin surat hingga ditelefon oleh negara mereka, NGO hingga PBB, tetap saya tolak," tegas Jokowi.
Jokowi melihat banyak pelaku kejahatan narkoba ini walau sudah divonis mati, masih saja nekat mengedarkan barang haram dari balik jeruji. “Lah kalau diampuni, apa tidak akan semakin merajalela? Kita pikirkan 4,5 juta orang direhabilitasi, 1,2 juta tidak bisa direhabilitasi. Jika dibiarkan bisa hancur total negara kita," tandas Jokowi.
Nampaknya Jokowi menegaskan bahwa Indonesia bukan negara yang bisa di-bully oleh Australia ataupun PBB. Semakin Indonesia ditekan, malahs emakin bersemangat untuk terus melanjutkan eksekusi mati. Jokowi menegaskan bahwa Indonesia saat ini darurat narkoba dan pelaku kejahatan peredaran narkoba takkan diberi kesempatan kedua seperti yang diminta Australia dan PBB!
Australia cari kambing hitam
Belum puas dengan upaya mem-bully, melalui media lokal, pemerintah Australia malah mencoba mendiskreditkan aparat hukum Indonesia dalam kasus “Bali Nine.” Disebutkan bahwa hakim yang menangani kasus “Bali Nine” pernah minta uang suap. Saat tidak dipenuhi, hakim tersebut memberikan hukuman maksimal.
Apa yang dilakukan Australia ini takkan melunakkan pihak Indonesia. Katakanlah iya terjadi penyuapan, mengapa juga baru diungkapkan sekarang, kan?
Intinya, saya secara pribadi setuju dengan ketegasan pemerintah menghukum mati Bandar narkoba. Tak ada ampun bagi Bandar narkoba yang merusak generasi bangsa. Buat Australia, silakan saja ikuti langkah Belanda dan Brasil yang memulangkan dubesnya. Monggo mawon!
Buat Ki-Moon sang sekjen PBB tukang bully, Anda jangan lupa Indonesia lah yang membantu menyelamatkan (19) warga negara Korea Selatan yang disandera Taliban di Afghanistan beberapa tahun lalu. Jangan lupa itu! Bahkan Australia tak bisa membantu negara Anda saat itu! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H