Mohon tunggu...
Washfa Ariqa Efendi
Washfa Ariqa Efendi Mohon Tunggu... Freelancer - ig:@washfaa

Mahasiswi IAIN Jember

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kontroversi Revisi UU KPK

1 Oktober 2019   20:24 Diperbarui: 1 Oktober 2019   20:39 1798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Telah kita ketahui bersama bahwa akhir-akhir ini sejumlah mahasiswa maupun organisasi masyarakat ramai dalam mengeluarkan kritik melalui aksi demo terhadap pemerintah terkait rencana DPR untuk merevisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang dirasa masyarakat banyak kontroversi di dalamnya, terutama dengan adanya beberapa poin kontroversi yang menggegerkan masyarakat. Berikut lima poin kontroversial tersebut:

  • Independensi
  • Dewan pengawas
  • Izin penyadapan
  • Kewenangan terkait SP3 (surat perintah penghentian penyidikan), dan
  • Asal penyelidikan dan penyidikan

Dari kelima poin tersebut masyarakat mengkritik bahwa sikap DPR yang berusaha merevisi UU KPK penuh masalah dan dianggap tidak selaras dengan semangat pemberantasan korupsi serta memanjakan para koruptor, mereka juga khawatir revisi UU KPK berpotensi untuk melemahkan KPK.

Pelemahan itu tidak hanya dilihat dari segi revisi UU KPK saja tetapi juga dilihat dari beberapa persoalan dalam hasil revisi UU KPK yang dinilai berisiko.

Contohnya dapat dilihat dari sisi penanganan perkara sebagai berikut, yaitu dari aspek penyidikan, pemangkasan kewenangan penyadapan, operasi tangkap tangan yang ditentukan oleh Dewan Pengawas KPK yang berada di luar KPK, hilangnya kewenangan penanganan kasus yang meresahkan publik (pasal 11), berkurangnya kewenangan penuntutan, OTT menjadi lebih sulit dilakukan karena lebih rumitnya pengajuan penyadapan dan aturan lain yang ada di UU KPK, hingga diubahnya pasal 46 ayat (2) UU KPK yang selama ini menjadi dasar pengaturan secara khusus tentang tidak berlakunya ketentuan tentang prosedur khusus yang selama ini menyulitkan penegak hukum dalam memproses pejabat negara.

Banyak pula asumsi masyarakat yang menilai bahwa substansi RUU KPK bertentangan dengan konsep independensi dan tugas pokok KPK.

Contohnya, pasal 7 ayat 2 RUU KPK mewajibkan KPK untuk membuat laporan pertanggung jawaban satu kali dalam satu tahun kepada presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Padahal, KPK didirikan sebagai lembaga yang mandiri dan independen serta terlepas dari cabang kekusaan lainnya.

Tentu saja semua hal yang dipaparkan ini membuat masyarakat geram, mereka juga memiliki hak tersendiri untuk melangsungkan hidup kedepannya tanpa adanya koruptor yang semakin merajalela tiap harinya.

Oleh karena itu, di masa jabatan yang beberapa saat lagi akan berakhir ini masyarakat menuntut presiden untuk tidak menerbitkan surat presiden agar revisi terhadap UU KPK tidak berpotensi terhadap pelemahan KPK, masyarakat juga meminta DPR selaku wakil rakyat untuk menghentikan pelemahan KPK.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun