[caption caption="Malino yang asri dan sejuk"][/caption]
Pada kesempatan baru-baru ini, saya mengajak istri dan anak saya berlibur ke Malino, daerah pegunungan yang terletak sekitar 2 jam dari Makassar. Seperti Puncak untuk warga Jakarta dan Tretes untuk warga Surabaya, demikian Malino untuk orang Makassar. Tempat ini menjadi daerah wisata favorit sejak saya masih kecil.Â
[caption caption="belanja di pasar Malino"]
Kami pun ke pasar untuk berbelanja jajanan lokal, dan pada kesempatan kali ini, kami singgah ke salah satu rumah tempat mereka membuat tenteng, kacang yang dibungkus dengan gula merah. Ketelatenan dalam kesederhanaan mereka membuat kami tersentuh. Mereka dengan ramah menyambut kami dan mempersilahkan kami mencicipi jajanan hasil karya mereka.
[caption caption="proses pembuatan tenteng Malino"]
Selain pasar, kami juga pergi ke hutan pinus, area wisata keluarga. Dalam hutan pinus ini, anak-anak bisa berlari-lari, bermain-main dan menyewa kuda untuk diajak berkeliling. Di hari-hari raya, para pemuda/i berkesempatan untuk melepaskan jiwa petualang mereka dengan berbagai permainan rintangan yang ada, salah satunya adalah flying fox.
Saat itu, jagung yang ada ditangan sudah habis dimakan. Saatnya buat kami untuk mencari tempat sampah untuk membuang sisa makanan ini. Kamipun mengayuhkan langkah kami meninggalkan pondokan yang ada dan melihat lagi tanda yang terpasang di tempat lain, yang melarang orang untuk membuang sampah sembarangan. Tidak lama kemudian, kami menemukan tempat sampah berupa potongan drum oli bekas yang berwarna coklat dan membuang sisa makanan di sana.Â
Dalam sisa waktu di hutan pinus itu, mata saya mulai mencari posisi tempat sampah yang ada. Saya melihat ada tempat sampah yang disimpan bersebelahan satu dengan yang lain, sementara di lokasi lain, tidak ada tempat sampah yang tersedia sejauh mata memandang. Karena warnanya yang mirip dengan warna tanah, maka terkadang mata ini kurang awas dan tidak menemukannya.