[caption caption="http://www.mquadrant.com"][/caption]Demo yang terjadi di ibukota Jakarta baru-baru dalam rangka menolak transportasi berbasis online menghiasi berita di berbagai stasiun TV. Berbagai kelompok perkumpulan sopir-sopir bersatu untuk meminta agar transportasi umum berbasis aplikasi segera ditutup. Kombinasi jumlah orang yang banyak, emosi yang tinggi, dan kepentingan yang bertabrakan menjadi resep manjur untuk munculnya kekacauan. Tidak lama, berbagai foto dan video singkat bermunculan di sosial media, menunjukkan korban-korban dari protes massal ini. Diantaranya kita bisa melihat mobil dihancurkan, motor dijatuhkan, orang-orang dilecehkan dan masyarakat diresahkan.
Bentrokan dan aksi sweeping yang sempat muncul di daerah Slipi, contohnya, mempertemukan dua kelompok orang yang sama-sama berjuang untuk mencari sesuap nasi. Adu mulut muncul diantara bapak-bapak yang sama-sama mengadu nasip di Jakarta demi hari esok yang lebih baik. Dan tergantung kepada siapa kita bertanya, kita akan mendengarkan versi yang berbeda tentang siapa yang baik, siapa yang salah, dan apa yang perlu dirubah.
Berbagai tanggapan dan refleksi dari pengamat-pengamat bermunculan memberikan pandangan kepada masyarakat yang bingung mengambil makna dari fenomena ini. Rhenald Kasali, salah satu guru besar managemen Indonesia memberikan pandangannya terhadap fenomena ini dengan konsep sharing economy. (http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/03/22/054000126/Demo.Sopir.Taksi.dan.Fenomena.Sharing.Economy.?page=all)
Ia mengajak para pembaca untuk membuka pikiran terhadap perubahan dunia yang sedang terjadi dan bagaimana pihak-pihak yang bersikukuh dengan cara lama perlu membuka pikiran mereka. Kalau tidak, maka suatu hari nanti, mereka akan menemukan diri mereka seperti perusahaan raksasa Nokia yang merasakan sakitnya terjatuh dari penguasa dunia handphone. (http://www.kompasiana.com/warungpemimpin/terlalu-besar-untuk-jatuh_56e25211529773e11f6dd5a2) Ketika mereka harus menjual perusahaan handphone mereka kepada Microsoft, pemimpin Nokia berkata: “kami tidak melakukan apapun yang salah, tetapi entah bagaimana, kami kalah.”
Fenomena yang sama sedang merambat masuk dalam berbagai sektor bisnis dan merombak total sistem yang ada. Dunia sedang bergerak menuju persaingan global yang masih terlalu asing untuk bisa kita mengerti secara total. Tanpa disadari, bisnis lokal seperti hotel, taxi, toko, departmen store ini menghadapi persaingan bukan saja dari saingan yang lama, tetapi dari saingan baru yang muncul dengan modal yang sangat kecil. Dalam seketika, pemilik hotel dan stan di mall bukan saja harus bersaing dengan sesama pemain, tetapi dengan pemilik rumah dua susun yang memiliki kamar kosong dan seorang anak muda yang membuat sepatu di kamar tidur mereka. Dalam seketika, dunia yang sudah mereka kenal dan kuasai itu berubah menjadi hutan rimba yang asing buat mereka.
Apa yang harus mereka lakukan?
Bagaimana mereka bisa survive di tengah iklim usaha yang begitu aneh dan membingungkan ini? Kalau kita berada di posisi mereka, apa yang akan kita lakukan?
Cara pertama tentu saja adalah dengan berdiam diri. Mereka mencoba meyakinkan diri bahwa usaha mereka akan menjadi pengecualian terhadap fenomena ini. Mereka percaya dengan alasan tak masuk akal yang mereka buat bahwa fenomena ini tidak akan bertahan lama, bahwa hanya dalam waktu singkat, kondisi akan kembali seperti semula. Jadi mereka memilih untuk menutup mata terhadap perubahan yang terjadi.
Bila perubahan itu sudah memberikan dampak negatif pada penghasilan mereka, maka mereka akan merasa bahwa mereka sudah menjadi korban dari pasar yang tidak adil ini. Dengan menempatkan diri sebagai korban, mereka akan memilih jalan yang paling mudah, yaitu mengomel dan komplain. Inilah cara kedua. Sama seperti sikap seorang anak kecil yang harus bangun pagi karena sudah mulai bersekolah, orang-orang ini merengek menolak perubahan yang terjadi. Terkadang mereka melakukan dengan sendiri-sendiri, tetapi tidak jarang pula mereka berkumpul dengan kelompok yang serupa dan “berteriak” dengan lebih keras, seakan kerasnya teriakan menentukan benar tidaknya aksi mereka itu. Cara kedua adalah menyalahkan orang lain, menyalahkan pemerintah, menyalahkan kompetisi. Mereka menyalahkan berbagai pihak dan menolak untuk bercermin dan melihat bahwa perubahan ini tidak mungkin dibendung.