Mohon tunggu...
warung kopi plus
warung kopi plus Mohon Tunggu... -

tempatnya ngopi sambil ngobrol bersama sama

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

2014 - Menteri Pariwisata Memiliki 33 Wakil Menteri (Seharusnya)

19 Desember 2011   03:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:04 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tulisan ini terbesit ketika hendak berangkat ke kampus, membaca pesan yang masuk dan kolom kompasiana "Wisata"... Hemmm (berpikir)...., Indonesia sangat kaya akan wisata yang sama sekali belum tersentuh secara Profesional, kecuali Propinsi Bali. Sayang sekali, kita telah diberi "Modal" yang sangat besar, bahkan Belanda dan Imperial2 mati-matian ingin memiliki "kita" hanya demi menyokong ekonomi negaranya yang bangkrut karena peperangan dan selain karena mereka memang "miskin". Sebaliknya, Nenek moyang kita, mati-matian mempertahankan Indonesia, sedangkan kita asik-asik berlomba untuk mempermainkan negeri.

Mengapa Harus Pariwisata: Ya..., mengapa kita harus mengembangkan wisata, sedangkan pertambangan kita sangat berlimpah? Lihatlah di Bali, sebagian besar masyarakat hidup dari wisata. Segala bentuk kegiatan pariwisata (kegiatan positif) akan menghasilkan "uang" guna menggerakkan ekonomi keluarga, yang pada akhirnya menggerakkan ekonomi Kota/Kabupaten dan Propinsi Bali. Mungkin disana tidak ada Migas, emas maupun intan, namun dengan kondisi tersebut justru membuat godaan untuk merusak alam semakin sedikit. Sebaliknya lihatlah Kaimantan rusak karena kandungan batu baranya, Papua Rusak karena Tembaganya (Baca: Emas), Riau rusak karena Minyaknya, Bangka-belitung rusak karena Timahnya, NTT rusak karena Intannya...(selanjutnya daerah anda rusak karena apanya...) Dalam sejarah dunia, tidak ada kota tambang yang sukses. Artinya, semua kota tambang akan rusak. Selanjutnya kota dan penduduknya akan lebih akrab dengan banjir dan bencana alam lainnya. Inti utama Pariwisata di Indonesia adalah wisata alam (sebagian wisata buatan). Mengembangkan wisata alam berarti menghormati alam, menjaga alam dan mensyukuri alam sehingga pada akhirnya alam pun akan menghormati kita dan menjaga kita. Dengan pariwisata, mereka (baca: turis) akan datang membawa segepok uang untuk dibagikan ke pemilik hotel, pemilik toko cenderamata, pemilik warung makan/restoran, warung kopi plus, pemilik angkutan kota, pemilik dan tentunya akan dibagikan juga kepada pengelola obyek wisata. Setiap tahun, turis akan bekerja habis-habisan guna mendapatkan segepok uang untuk dibelikan segenggam kesenangan. (Untuk masyarakat yang tidak memiliki hotel, toko, warung dsb..., akan mendapatkan uang bagi hasil dari pemilik hotel, toko, warug, dsb.) Lihatlah di sepanjang Jalan Malioboro, hampir setiap hari saya melewati ruas jalan itu. Menikmati kemacetannya sambil melihat orang berwisata. Sesekali saya berkata sama istri saya, lihat parkiran di sepanjang Jalan Malioboro itu, setiap hari dan setiap waktu tidak pernah sepi dari kendaraan parkir, begitu juga pengamen jalan yang mengamen'ni orang yang sedang duduk-duduk. Hemmm..., saya jadi berpikir berapa hasil dari parkir atau mengamen di Jalan Malioboro itu ya? Tentunya gaji dan tambahan gaji seorang PNS Golongan IIIa tidak sebanding apabila dibandingkan dengan gaji tukang parkir atau pengamen di sana. Hahaha..., itu baru penghasilan tukang parkir dan pengamen. Bagaimana dengan penghasilan warung di sepanjang Malioboro? Lihat saja setiap hari tersedia setumpuk ayam goreng yang per porsinya Rp20.000. Tentu itu hasil yang sangat besar dari adanya wisata. Pariwisata milik Kita Semua Mulai dari masyarakat yang tidak bersekolah sama sekali sampai dengan masyarakat yang berpendidikan tinggi dapat hidup dalam dunia wisata. Bandingkan dengan kegitan pertambangan, mungkin hanya mereka yang berpendidikan yang bisa hidup dari dunia pertambangan. Disini saya tidak berniat menghina, namun hanya memberi contoh bahwa tukang becak dan bahkan pengemis dan tunanetra pun memiliki hidup di Malioboro. Sebaliknya, banyangkan kehidupan mereka di Kota Pertambangan bahkan di Kota Jakarta pun mereka susah hidup. [caption id="attachment_150402" align="aligncenter" width="300" caption="Pemandangan Pantai Iboih, Aceh (Sumber: https://assets.kompas.com/data/photo/2011/12/18/2049046620X310.jpg)"][/caption] Kembali saya berpikir untuk menjawab pertanyaan besar tentang, bagaimana Pariwisata Indonesia bisa berkembang? Yah..., mungkin salah satunya adalah dengan mengangkat wakil menteri pariwisata pada setiap propinsi di Indonesia. Tentu hal ini membutuhkan biaya yang sangat besar, namun "besar" tersebut akan terlihat kecil apabila kita melihat manfaat berkembangnya wisata di daerah (seperti gambaran diatas). Pariwisata menimbulkan multiplayer effect yang sangat beragam, mulai dari Pertanian, Kelautan, Perikanan, Peternakan, Perindustrian, Pendidikan, Kesehatan bahkan dalam bidang telekomunikasi pun dapat ikut berkembang karena pariwisata. Dalam Dunia Blogger dan Adsense, teman-teman sebagai bogger yang mengabdi pada Google Adsense tentunya akan meraup keuntungan yang besar dari adanya pengembangan wisata, khusunya teman-teman yang memposting mengenai obyek-obyek wisata di Indonesia. Mengapa??  karena obyek wista tersebut semakin terkenal di dunia sehingga jumlah pencariannya'pun akan semakin besar dan dampak selanjutnya adalah semakin besar pula pengunjung ke blog tersebut. Lihatlah, apabila pariwisata berkembang, masyarakat petani, pengrajin, peternak, nelayan tidak akan susah untuk menjual hasil-hasilnya. Bahkan hasil-hasil tersebut cenderung memiliki nilai yang lebih besar apabila langsung dijual ke konsumen (turis). Kembali pada wakil menteri disetiap propinsi, tujuannya adalah agar mereka lebih fokus dalam memasarkan wisata di daerahnya. Lebih fokus dalam memperjuangkan aspirasi wisata didaerahnya. Mengganggarkan biaya untuk pembangunan infrastruktur dan sarana prasarana wisata lainnya. Tidak mustahil daerah-daerah di Indonesia 10 tahun kemudian menjadi Bali dan Jogja saat ini, tentunya Bali dan Jogja juga akan semakin berkembang menjadi 10 tahun lagi. ... Sttt..., ntar ngobrolnya disambung lagi, udah molor waktu kekampusnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun