Adalah seorang kakek, usianya sekitar 75 tahun. Kulitnya legam, jalannya tertatih. Namun setiap hari menyusuri jalan-jalan ramai di sebuah kota kecil di Jawa Timur. Sambil memikul barang dagangan, berupa alat-alat dapur seperti enthong, parut, tapisan dan gayung, juga lainnya, si kakek tak pernah menyerah.
Dari pagi hingga petang ia menjajakan dagangannya. Tampak letih. Profil mukanya pun terkesan lebih tua dibanding usia sesungguhnya. Maklum setiap hari si kakek harus mengelilingi kota kecil yang juga tempat kelahirannya itu dengan jalan kaki tanpa alas kaki.
Entah sudah berapa puluh tahun si kakek melakoni 'profesi' itu. Tentu juga tak terhitung berapa ratus kilo meter jalanan aspal dan berdebu yang telah ditapakinya. Si kakek tak meninggalkan tapak sejarah sih, hingga sulit untuk menapak tilasi. Yang ia tinggalkan dalam setiap jalannya adalah kesan tak pantang menyerah. Meski kulit legam terbakar matahari. Ototnya pun kian mengurat. Keriput tulang pipinya, dan keringat deras mengucur. Adalah gambaran yang pasti - tentu saja - mengundang iba bagi siapa pun yang melihat atau berpapasan dengannya.
Dasar, si kakek bukan saja ulet dan pantang menyerah. Ia juga tak pernah mati akal, tapi tidak licik. Cara berjalan, dan menyeberang jalan ia memiliki metode yang khas. Ketika jalanan ramai, tentu saja si kakek toleh sana-toleh sini. Tubuhnya yang sempoyongan karena beban pikulan dan tentu saja juga beban hidup makin memperberat langkahnya. Pendengarannya yang tak lagi maksimal seperti waktu muda kian menampakkan kebingungannya. Toh, instinknya demikian tajam. Begitu sikon memuncak ramai, si kakek justru menyeberang jalan. Jelas saja, bukan sekali saja ia nyaris tertabrak mobil atau kendaraan bermotor. Dan, pada momentum seperti itulah ternyata si kakek memunculkan jurus jitu sebagai seorang sales marketing yang handal. Masak iya???
Coba simak. Bagaimana nggak iba, seorang ibu yang melihat kakek renta dengan pundak terbebani terseok-seok menyeberang jalan dan nyaris tertabrak mobil. Maka, gayung seharga Rp 5000 dibelinya Rp 20.000. Bukan itu saja, si ibu masih merogoh kocek lagi barang Rp 5000Â atau Rp 10.000 sebagai sedekah. Pada kesempatan lain, metode khas si kakek itu juga membetot perhatian banyak orang. Ada polisi berseragam, juga yang berseragam, pengusaha, eksekutif muda, dll, serta merta menghentikan kendaraannya demi melihat si kakek hendak menyebarang jalan. Mereka rela turun lalu menggapai tangan kakek, bahkan merangkulnya, lalu menyeberangkan. Dan tentu saja, isi dompet pun ikut terbetot dengan kisaran besaran yang bervariasi.
Nah, berapa kira-kira yang bisa didapatkan si kakek yang menjajakan alat2 dapur remeh-temeh tadi setiap harinya? Ini ma.. bukan teka-teki. Coba tanya aja pada si kakek, berapa? "Ini rahasia perusahaan," tukas kakek ketika ditanya berapa penghasilannya. Ia pun tak membuka kiat mencari duit di saat sulit. Kecuali kalau si kakek diundang sebagai motivator dalam sebuah seminar "Kiat Mencuri Perhatian".. he.. he he. Tapi yang pasti, si kakek sudah memberi pelajaran pada anak bangsa di negeri ini. Nggak perlu takut nganggur. Biarlah orang-orang gedhe-gedhe, para elite itu berkelahi berebut kuasa, repot moles citra, asyik menumpuk kekayaan, lalu jor-joran, pamer di media. Emangnya gua pikirin.. Daripada meminta-minta, jelek-jelek gini, meski sudah peot dan reot, gua masih kerja.. kerja.. lho. Dan, bapak-bapak yang di atas sono tahu nggak " ini halal, 100% halaaaaal, walau nggak ada label dari MUI. hi hi hi. Dasar kakek yang tak pernah mati akal.*)
Pada
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H