Generasi Jambret
Sepekan lalu saya ketemu guruku waktu di SD dulu. Saya biasa memanggilnya Bu Nur. Panggilan yang juga biasa dilakukan murid-murid lain. Nama yang pendek tapi bagus. Bu Guru Nur, artinya Bu Guru yang bercahaya. Sebenarnya namanya panjang, tapi banyak murid-murid kadit uhat. Mungkin Nurhasanah, (cahaya kebaikan) Nuraeni (dua mata yang bercahaya), atau Nurrahmah (cahaya yang penuh rahmah). Begitulah tradisi murid di mana-mana, sering tidak kenal nama gurunya, tapi suka usil dan menggoda.
Meski sudah 40 tahun tak bersua, Bu Nur sama sekali tak lupa. Ketika pulang dari pasar ia menyapa "ek, kamu jadi apa sekarang". Pertanyaan spontan khas seorang guru. Selalu menanyakan prestasi dan sukses dari murid-muridnya. Tapi saya bingung mejawab, karena saya memang tidak jadi apa-apa. Juga bukan siapa-siapa, selain kuli disket biasa. "nggak jadi apa-apa bu, cuma kuli biasa. Tapi saya sudah gak nakal kok," kataku.
Bu Nur menghentikan langkahku. Ia curhat. Sepekan lalu, katanya, ketika jalan pagi usai subuh ia dijambret orang. Hanya sebuah liontin dan uang Rp 10.000. Bagi Bu Nur yang baru saja pulang haji bersama suaminya, jelas harta segitu sangat remeh-temeh. Tapi Bu Nur merasa naas yang menyergap di pagi buta itu serasa kiamat. Ia lebih baik kehilangan mobil, kerbau atau harta segede gunung sekalipun, asal tak mengalami peristiwa penjambretan itu.
Soal jambret bagi saya sebenarnya biasa. Di mana-mana ada. Di terminal Arjoasari Malang, di Bungurasih Surabaya, bahkan di jalan di mana-mana. Itu maa biasa. Lagian, orang sekarang kan memang sudah jadi jambret semua. Jadi ya tergantung nasib saja, mujur atau kujur. Tetapi jambret yang dikisahkan Bu Nur ini tergolong modus baru dan unik.
Operasinya di desa-desa di pagi-pagi buta. Sasarannya orang-orang lansia yang sedang joging. Atau para pedagang sayur yang sedang berangkat ke pasar. Jambretnya mengenakan selubung kepala ala ninja. ang diminta tak pernah banyak. Sekadar perhiasan yang dikenakan calon korban atau uang Rp 10.000. Pokoknya cukup untuk sarapan pagi dan membeli sebungkus rokok kretek Jarum 76.
Kepala desa tak bisa berbuat apa-apa. Polisi pun bungkam seribu bahasa. Soalnya laporanya selalu telat dan barang buktinya keburu lenyap. Remeh-temeh, sepele, tapi jambret dinihari ini bikin geger sedesa. Termasuk Bu Nur yang tak pernah usai merenungi tragedi penjambreten di depan rumahnya itu.
"Apa memang ada yang istimewa to Bu?" tanyaku sebelum aku bergegas meninggalkan Bu Nur. Apa kata Bu Nur? Ia hampir pingsan saat digertak jambret bertopeng itu. Tanpa banyak pikir Bu Nur melepas liontin dan mengulurkan uang Rp 10.000. Begitu transaksi selesai si jambret membuka selubung kepalanya. Dan, "terima kasih Bu. Maaf saya telah mengecewakan Ibu, karena hanya pekerjaan ini yang bisa saya lakukan".
Si jembret pun berjalan membelakangi Bu Nur tanpa ekspresi. Ternyata, menurut Bu Nur, si jambret itu adalah muridnya sendiri. Ia terpaksa menjambret demi membayar sekolah dan ingin memiliki uang jajan. Si jambret bukan tak menghargai Bu Nur sebagai guru yang mengasah, mengasuh dan mengasihi. Justru lantaran Bu Nur gurunya itulah ia menjambret. Sebab ia yakin Bu Nur akan memakluminya.
Sebaliknya bagi Bu Nur. Ia seperti tak bertulang. Lemas. Benaknya seperti diiris sembilu. Dadanya mendadak sesak. Murung tak berujung. Semangatnya pupus. Obsesinya sebagai seorang guru porak-poranda. Pekerjaan sepanjang hayat menjadi sia-sia. Sedih, amat sakit, karena apa yang dikerjakan selama ini ternyata telah menghasilkan generasi jambret, generasi maling. Bu Nur akhirnya tersadar, murid-muridnya yang jadi jambret bukan cuma seorang. Ada banyak, tersebar di mana-mana. Ada yang sudah jadi bupati, DPR, polisi, dokter, jaksa, hakim, petugas pajak, bahkan menteri, dan konglomerat. Toh, mereka tetap menjambret juga, bahkan lebih gila karena nilainya triliunan rupiah. Nah?(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H