Jalaludin Rumi (1207 - 1273), seorang sufi tersohor asal Balkh (Afghanistan) pernah menuturkan sebuah kisah jenaka. Kisah itu bertutur tentang seorang yang agak tuli, namun tak pernah mengakuinya bahwa ia sebenarnya penderita tuna rungu. Suatu ketika, Si Tuli dikabari bahwa salah seorang tetangganya jatuh sakit. Si tuli pun sangat ingin menjenguk, tetapi ia agak bingung juga bagaimana nanti harus berkomunikasi dengan tetangganya yang sakit itu. Maka ia mulai berpikir dan menggagas, bagaimana dengan ketliannya itu ia berkomunikasi. Karena, apa pun kondidinya ia berpirnsip harus menjenguk dan memberi semangat tetangganya yang sakit.
Mulailah otaknya berputar. "Ooh ya, saya akan mulai dengan sapaan akrab, apa kabar temanku yang malang?" pikirnya. Ia akan menjawab, "syukur, mulai sehat, terima kasih." "Apa yang sudah kawan minum," lanjut Si Tuli. Si sakit akan menjawab. "Sup kacang." Si Tuli melanjutkan, "wah sehat sekali. Siapa dokter yang merawat?" Si sakit akan berkata, Si Anu." Si Tuli meneruskan, "sungguh ia telah membawa kemujuran. Kawan pasti segera sembuh."
Nah, setelah semua sudah dipersiapkan dan dirancang sedemikian rupa, Si Tuli bergegas menjenguk sahabat yang juga tetangganya yang sakit tadi. "Apa kabar?" tanyanya. "Sekarat," jawab si sakit agak kethus karena sakitnya. "Syukurlah," sahut Si Tuli. Mendengar jawaban itu si sakit heran, mengapa ia bersyukur. Pastilah sahabat yang datang ini memusuhiku. Si Tuli pun sebenarnya tidak mudheng (paham) atas jawaban itu. Ia berusaha menebak jawaban si sakit, tetapi ternyata salah.
"Apa yang sudah kamu minum?" tanyanya lagi kepada si sakit. Si sakit menjawab ;"Racun," jawabnya singkat karena sudah merasa jengkel atas respon Si tuli yang sudah salah sejak awal. Si Tuli kemudian melanjutkan, "wah sehat sekali!" Jawabnya kian membuat marah si sakit.
Dialog tadi mengingatkan pada fenomena yang dipopulerkan oleh seorang pelawak bernama Bolot. Bagaimana seorang Bolot merespon setiap pernyataan dan pertanyaan dari lawan dialognya.. Tak pelak, Bolot hampir senantiasa melenceng dari konteks dialog, karena ia tuli. Bedanya, dalam adegan Bolot, bukanlah fakta sungguhan, melainkan realitas lawakan. Bolot hanya berperan Si Tuli, tetapi sebenarnya tidak tuli. Bolot barangkali sedang menyindir, karena di negeri ini banyak orang yang punya kuping tapi tak bisa mendengar alias tuli. Bolot mengenalkan fenomene tuli-tulian, pura-pura tuli. Itulah mungkin substansi lawakan Bolot. Komunikasi model Bolot itu mungkin tak ada salahnya kalau disebut saja sebagai fenomene "Bolotisme".
Dalam contoh yang dituturkan Jalalaludin Rumi, komunikasi ala Bolot (Bolotisme) telah membuat s sakit bertambah parah. Si Tuli tidak juga mengeri. Ia malah nyinyir.. "Syukurlah.. syukurlah.." Si Tuli mencoba membangun kesan demokratis, egaliter, dialogis, familiar, dan apresiatif. Tetapi karena ia hanya mendengarkan dan meyakini jalan pikirannya sendiri, sesungguhnya ia telah melakukan menipulasi. Menurut seorang ahli komunikasi, Martin Buber, Si Tuli hanya berbicara sendiri (monolog), berdasarkan apa yang dipikirkannya. Sejatinya, ia memang tidak mendengar suara sahabatnya, tetapi ia tidak mengakui.
Jika Bolotisme ini muncul dalam setting komunitas yang lebih luas, seperti hubungan antar-alite, negara-warga, pemimpin-rakyat, dan lain-lain, tentu bisa dibayangkan. Bagaimana rasa keadilan rakyat sudah tertusus-tusuk ilalang, karena merasa dan melihat ketimpangan ada di mana-mana, dan rakyat berteriak :... "Tolooooong, adili pejabat-pejabat, siapa pun mereka , yang bersalah..." Jawaban yang muncul .. "Tidak ada bukti,. kita harus menerapkan azas praduga tak bersalah..". Jutaan rakyat meminta perlindungan. Yang muncul cuma pernyataan sejumlah eite.
Mereka lebih banyak yang hanya ngomong, tidak melakukan percakapan. Buber menyitir, mereka memandang khalayak sebagai obyek untuk dimanipulasikan buat kepentingannya. Mereka hanya tertarik dengan ikhwal khalayak sejauh bisa membantu/menguntungkana mereka. Mereka hanya memperhatikan apa yang dipikirkan orang lain tentang mereka, prestise dan otoritas mereka. Mereka terjangkiti Bolotisme. Mereka tidak berusaha memahami apa yang dipikirkan dan dikatakan khalayak. Tidak berusaha membangun dialog seperti pernah dianjurkan oleh filosof Plato..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H