Mohon tunggu...
warung hik
warung hik Mohon Tunggu... -

---

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mengebiri Hak Pengawasan WN Melalui Pilkada Tak Langsung

8 September 2014   10:47 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:20 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14101461801525153462

[caption id="attachment_357872" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi Pilkada/Kompasiana (Kompas.com)"][/caption]

Gejala tirani mayoritas di parlemen, pasca terbitnya UU  MD3  sudah mengebiri sistem presidensial yang ingin dibangun. Panen gugatan di MK atas UU itu pun belum menyurutkan politik tirani mayoritas. Mengedepankan  hasrat kekuasaan, bukan kesejahteraan. Mengggulirkan wacana Pilkada tak langsung melalui DPRD, memaksa diri di sisa waktu jabatan yang tinggal hitungan jari. Melupakan hutang 42 RUU yang sudah masuk agenda prolegnas  2014  yang pasti tidak bakal dapat dipenuhi dan akan menjadi beban anggota DPR periode berikutnya.

Pasal 1 ayat (2) UUD RI 1945 sudah jelas menggariskan asas konstitusionalisme dalam penyelenggaraan negara. Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut UUD. Sayangnya, sebagian bapak-bapak wakil rakyat 'yang mulia'   itu berhasrat kuat memutilasi asas konstitusionalisme hanya dengan memijak dari Pasal 18 ayat (4) UUD saja.  Bermain di atas frasa  'Kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis'.  Yang penting demokratis, DPRD juga bisa demokratis kok, kata mereka.

Tetapi, mereka lupa Pasal 1 ayat (3) UUD yang menekankan 'Negara Indonesia sebagai negara hukum'. Memainkan kata 'demokratis' sebagai cara pikir untuk melegitimasi Pilkada tak langsung di luar konteks 'negara hukum' adalah janggal. Karena, kata demokratis dalam Pasal 18 ayat (4) tidak dapat ditafsirkan tunggal dan berdiri sendiri, karena baik sengaja atau tidak tafsiran itu akan melemahkan makna 'negara hukum.

Undang2 tidak diterjunkan hanya dari satu ketentuan pasal UUD. Undang2 adalah produk hukum yang ketentuannya menjadi norma saringan dan beberapa pasal yang saling berkaitan. Satu pasal harus menjiwai ketentuan lainnya, bukan saling melemahkan. Negara tidak sekedar sekedar mengatur masyarakat (fungsi absolut), tetapi juga mengurus hak2 warga (fungsi relatif).

Rangkaian pasal 1 ayat (3) dan Pasal 18 ayat (4) membawa konsekuensi kontekstual pada terbentuknya 'negara hukum demokratis' (democratische rechtsstaat). Dalam sistem kenegaraan modern ajaran ini menjadi doktrin 'moderne democratische rechtsstaat'. Gagasan yang setara dengan konsep negara kesejahteraan (welfare state, verzorging staat). Antitesis  dari ajaran kuno negara hukum sebagai penjaga malam (nachwakerstaat).

Penuangan democratische rechtsstaat menempatkan kewajiban negara untuk melibatkan warga negara dalam pemerintahan. Hak asasi yang dilindungi pasal 28D ayat (3). Sekalipun keterlibatan itu sangat minim, sebatas pengawasan umum melalui pemilu, dengan memilih atau tidak memilih lagi pemerintah yang tidak berpihak pada kesejahteraan. Itu pun sebatas dapat dilakukan 5 tahun sekali.  

Adakah pengawasan umum yang sudah demikian minim dan hanya dapat dilakukan 5 tahun sekali  hendak dirampas dan diserahkan kepada orang lain yang belum tentu terpercaya dengan pilkada tak langsung? Dimanakah prinsip kedaulatan rakyat dan asas konstitusionalisme yang harus dijunjung tinggi dalam pembentukan undang2?

Prinsip pengawasan umum kinerja pemerintah yang tidak berpihak kepada kesejahteraan warga sesungguhnya sudah menunjukkan hasilnya dan terbangun secara demokratis. Setidaknya di Pileg dan Pilpres yang baru lewat dapat menjadi contoh yang sangat baik.  Di tingkat nasional, turunnya dukungan pemilih terhadap PD dan PKS adalah anugerah sebagai hasil mekanisme pengawasan umum dengan pemilu langsung yang dimiliki rakyat.

Pilpres yang baru lewat, setidaknya menunjukkan tren pengawasan yang sama. Berkumpulnya kelompok partai tertentu yang dianggap tidak berpihak kepada kesejahteraan dalam satu kubu, korupsi misalnya,  memperoleh ganjarannya dengan mekanisme ini. Pola yang setidaknya memberikan kecenderungan sama  di daerah.

Pengalaman orde baru lalu atau menurunnya elektabilitas partai tertentu seharusnya dapat mengikat diri mereka untuk berbenah. Bukan mencari kambing hitam, mencari kesalahan rakyat dengan dalih biaya tinggi dan potensi konflik,  kemudian mengebiri satu2nya hak politik rakyat untuk melakukan kontrol terhadap kinerja pemimpin yang sudah dipilih. Hak minimal yang hanya dapat dilakukan lima tahun sekali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun