Alih-alih menjadi relawan kemanusiaan atau memberikan bantuan kepada korban bencana, banyak yang datang ke lokasi bencana khusus hanya untuk menyalurkan naluri narsis. Lho kok bisa? Bisa saja. Penulis mengalami dan menyaksikan sendiri hal demikian itu.  Saat wilayah Yogyakarta, tepatnya Bantul, terkena gempa hebat pada  2006 lalu, selama beberapa minggu setelah gempa Yogya, Bantul, dan kota-kota di sekitarnya dikunjungi banyak "turis dadakan". Tidak sedikit dari kalangan artis dan selebritis yang kerap muncul di layar televisi ikut berseliweran di lokasi bencana. Keperluannya ya itu tadi, berpose sejenak kemudian mengabarkan ke kenalan dan sanak saudara kalau mereka saat itu tengah berada di lokasi bencana. Yang menggelikan, pernah di suatu hari (untuk keperluan pengiriman bantuan penulis berada di Yogya selama dua pekan), penulis menyaksikan seorang pengacara terkenal bersama beberapa artis melihat-lihat lokasi gempa dengan menyelipkan pistol (ini pistol beneran) di pinggangnya. Mungkin sang pengacara kondang merasa terancam di lokasi bencana sehingga merasa perlu membawa-bawa pistol segala. Andai pada 2006 saat gempa Yogya atau pada 2004 saat tsunami di Aceh demam facebook sudah melanda bisa jadi mereka datang sekadar untuk berfoto dengan latar belakang kerusakan akibat gempa, mengunggah (upload) foto, dan tidak lupa meng-update status. Tentu ada yang mendapat untung dari hal tersebut. Biasanya para pedagang makanan-minuman. Sebab namanya turis ya perlu makan. Apalagi ini wisata bencana, menikmati makanan plus merasakan efek dramatis bersantap di lokasi gempa. Pengalaman luar biasa bukan? Namun tidak sedikit yang jengkel bahkan marah karena bencana alam seakan dijadikan komoditas. Saat menjadi relawan untuk pengiriman bantuan makanan ke lokasi gempa di pelosok Bantul saat gempa 2006 lalu penulis sempat merasakan dampak langsung turis dadakan wisata gempa. Waktu itu mobil berisi makanan instan, air minum, selimut,  yang akan penulis antar ke lokasi gempa harus tertahan berjam-jam karena kemacetan parah di sepanjang Jalan Raya Bantul-Yogya. Waktu itu jalanan dipenuhi antrean mobil-mobil mewah yang rata-rata berplat nomor Jakarta. Selain relawan yang banyak terhambat, warga sekitar daerah gempa rata-rata sudah muak pula dengan perkembangan tersebut. Salah satu wujud kejengkelan mereka meruyak dalam bentuk spanduk besar berisi kalimat: "Kami Bukan Tontonan" di tepi jalan di depan tenda pengungsi korban gempa. Menurut warga di sana yang sempat penulis tanya, spanduk itu dibuat karena mereka jengkel setiap yang datang ke sana rata-rata sekadar melihat-lihat, bertanya ini-itu, dan dilanjutkan dengan berfoto bersama dengan latar belakang kerusakan akibat gempa. "Setelah puas melihat-lihat, berfoto-foto dengan latar belakang bangunan yang rusak, ha-ha hi-hi sebentar, terus mereka ngeloyor pergi, ya jelas kami jengkel dijadikan tontonan dan latar belakang foto mereka," ujar warga tersebut sengit. Kejengkelan yang wajar. Apalagi ada pilihan untuk bersikap lebih terpuji sekadar menjadikan korban sebagai tontonan atau latar belakang pemotretan, yakni dengan menyerahkan bantuan atau membantu menjadi relawan bencana. Mengingat pengalaman tersebut saya mencoba melakukan introspeksi... Wisata bencana? Sungguh tidak sopan... [caption id="attachment_166144" align="alignleft" width="300" caption="Turis menyaksikan lokasi bencana"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H