Saya tidak masalah melihat perempuan menyatakan perasaannya terlebih dahulu pada laki-laki baik dalam film maupun novel atau bahkan dalam kehidupan nyata.
Tapi saya keberatan ketika perempuan harus berjuang sedemikian rupa bahkan bersaing dengan sesamanya hanya demi mendapatkan cinta seorang laki-laki. Kenapa? Karena asmara bukan kompetisi.
Cinta, seperti kata ade mulyono adalah "kitab suci" yang dikultuskan dalam bahasa universal untuk dapat melebarkan percakapan inter-human. Oleh karena cinta tumbuh di bawah rezim bahasa, maka cinta adalah satu tema besar dalam bahasa keseharian kita yang terus-menerus diperbincangkan tanpa jeda.
Alangkah nyamannya jika mencintai secara feminis, adanya keseimbangan kedudukan antara kedua belah pihak. Tidak ada pihak yang satu mendominasi yang lainnya, sehingga tidak terjadi bucin secara sepihak.
Perempuan harus dipandang sebagai subyek yang utuh. Sebagai individu yang mempunyai suara dan hak yang sama dengan laki-laki. Ikatan bukan untuk membelenggu apalagi menguasai. Jangan jadikan agama sebagai dalih pembenar agar perempuan melakukan kepatuhan secara mutlak. Maka tak heran jika muncul adagium "Tidak patuh terhadap suami maka berdosa".Â
Dengan demikian, dalam suatu hubungan laki-laki tidak memandang perempuan sebagai objek penguasaan dan merasa memiliki atas diri perempuan.
Sehingga menyebabkan perempuan tak lagi memiliki kendali atas dirinya sendiri. Terlebih, jika laki-laki mencintai perempuan hanya berdasar pada pemujaan fisik dan bukan keindahan fikiran.
Akibatnya lebih jauh banyak perempuan yang rela menyakiti tubuhnya sendiri hanya demi memenuhi kata "cantik". Dan kecantikan itu bukan demi kenyamanan dirinya sendiri tapi untuk mendapatkan pengakuan dari laki-laki. Maka tak heran jika Eka Kurniawan mengatakan "cantik itu luka".
Saya jadi teringat sebuah syair karya Buya Syakur yang mengatakan;
"Sejak aku mengagumi jalan fikiranmu...
Caramu menyampaikan fikiran...
Dan kepintaranmu menyusun argumentasi...
Sejak itu pula aku mulai menyadari betapa cantiknya wajahmu...
Sehingga selanjutnya sekalipun engkau bukan seorang ratu
Tetapi aku melihat prilakumu persis sepertu ratu, yang anggun dan berwibawa..."
Andai semua lelaki mencintai perempuan karena keunikan pribadinya, keindahan fikirannya maka tak ada lagi stigma "cantik itu ejaannya putih".
Seperti kata Ester Lianawati dalam bukunya "Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan" bahwa "jangan jadikan kecantikan sebagai tirani, kita bukan tahanan dalam tubuh kita sendiri".