Saya pernah iseng mikir kenapa sepanjang usia saya, yang saya tahu pengasuh anak itu selalu perempuan. Koreksi kalau saya salah, saya kan mainnya kurang jauh siapa tahu di tempat jenengan ada pengasuh laki-laki.
Membuat saya bertanya-tanya sebab dibalik kondisi itu. Apakah karena laki-laki tak cukup punya sifat penyayang? bukankah laki-laki juga dibekali naluri kebapak-an? karena seorang anak tentunya tidak hanya butuh peran dan kasih sayang dari sosok ibu (perempuan) saja tapi juga sosok seorang ayah.
Apakah karena jika laki-laki yang menjadi pengasuh lantas itu mengurangi nilai maskulinitasnya? seolah-olah pekerjaan "mengasuh" hanya milik seorang ibu (perempuan). Baiklah, jangankan bekerja sebagai pengasuh terkadang menjaga anak sendiri saja ada saja yang enggan. Dan lebih memilih "mempercayakan" pada istri.
Paling banter, hanya menemani anak bermain. Masih jarang yang mau berbagi peran mengganti dan mencucikan popok, memandikan dan menceboki, mendandani anak, karena "aktivitas" itu dianggap feminin. Urusan ibu-ibu katanya.
Hal ini semakin mengafirmasikan bahwa pekerjaan "mengasuh, mengurus, mendidik" anak hanya untuk perempuan. Laki-laki cukup dengan perannya sebagai pencari nafkah. Merasa bahwa tugas itu sudah cukup berat tanpa harus ditambah "mengurus" anak.
Oh tentu saja banyak dalih pembenar dengan alasan waktu yang tersita karena beban kerja dan sebagainya. Saya jadi teringat dengan sinetron "dunia terbalik" yang sering ditonton tetangga saya. Saya belum pernah nonton jadi tidak tahu alur dan tokohnya. Hanya saja tetangga saya pernah berkata "dunia memang sudah terbalik masa suami yang ngasuh, istri yang cari duit".
Seolah suami "menjaga" anak dan istri mencari nafkah adalah kondisi abnormal. Yang mana menurut budaya patriarki yang telah hidup dari zaman Adam adalah Hawa yang diam di rumah, biar adam yang mengambil buah khuldi misalnya, atau biar Tarzan yang cari makan dan Jane yang jaga sarang. Seolah begitulah fitrahnya.
Bayangkan para Ibu tunggal, yang tidak hanya mengurus rumah tapi juga nafkah, sehingga mereka mengalami beban ganda. Tapi, jika laki-laki yang menjadi Ayah tunggal entah kenapa pandangan masyarakat berbeda. Seolah laki-laki takan kuasa dan takan mampu menanggung beban ganda tersebut.
Sehingga ketika baru tiga bulan ditinggal (meninggal) istri sudah menikah lagi, anehnya banyak masyarakat justru menganjurkan  bahkan mewajibkan agar segera menikah lagi. Karena katanya "kasihan" tidak ada yang mengurus. Sungguh dikotomis. Kenapa untuk laki-laki dalam beberapa kasus kerap berlaku "pemakluman"? pengwajaran?
Stigma maskulin-feminin, lemah-kuat, pemimpin-dipimpin adalah paradigma yang dipaksakan mempunyai gender. Dan perempuan dipaksa "memilih" diantaranya tidak boleh melawan "kodrat" apalagi memiki keduanya (androgini).
Ruang "dapur" sudah banyak diisi laki-laki bahkan dalam industri kuliner mendominasi. Mungkin jika laki-laki masih kebingungan mencari pekerjaan, melamar sebagai pengasuh anak patut dicoba.