Mohon tunggu...
Didik M.riyadi
Didik M.riyadi Mohon Tunggu... -

Pejabat birokrat yang marah-marah, Humas yang mengancam, narasumber yang mengelak, hingga institusi yang tidak terima, semuanya adalah resiko pekerjaan. Seorang walikota yang tiba-tiba bertanya dan kemudian membantu, saat mendirikan gubuk dan kehabisan ‘peluru’. Seorang Kapolsek yang tiba-tiba muncul di rumah, sembari membawa parcel yang katanya pemberian dari koleganya. Seorang aktifis demo yang dengan gampangnya memberikan sebuah amplop tebal, yang katanya hasil bargaining dengan seorang pejabat, saat tahu anak saya masuk rumah sakit. Hingga seorang peladang papa, yang membawa satu karung goni berisi ketela, kacang brol, dan 2 sisir pisang hasil kebun ke rumah. Karena saya sudah berhasil ‘memaksa’ walikota Sukawi bersama istrinya untuk menengok dan akhirnya memberi bantuan anaknya yang tidak mempunyai anus. Semuanya adalah pengalaman hidup. Semuanya adalah perjalanan panjang menikmati semua keterbatasan sebagai manusia yang tidak pernah sempurna. Dan saat usia mulai membatasi diri, maka yang terbaik bagi saya adalah, bagaimana membuat arti sebelum semuanya diakhiri. Terimakasih untuk semuanya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Membuat Media Sekolah Itu Gampang

6 Januari 2014   12:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:06 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Punya media sekolah sendiri ? Jadi wartawan? Alangkah menyenangkannya. Bertemu dan wawancara dengan artis idola, itu pengalaman yang mendebarkan sekaligus menyenangkan. Bersua dan melakukan liputan show music band terkenal, itu pengalaman yang sangat luar biasa. Bisa satu bilik dengan penyanyi pujaan, bertatap langsung dan saling berbagi kebahagiaan dengan sosok idola, pengalaman siapa lagi itu kalau bukan wartawan. Bertemu dengan Walikota, Kapolda dan atau Pangdam, siapa pula yang tidak ingin mempunyai pengalaman seperti itu ?

Benar sekali, pengalaman jurnalistik adalah pengalaman yang tak terlupakan. Dan itu bisa terlaksana, tidak usah menunggu sampai lulus kuliah, kemudian kerja di media profesional. Pengalaman itu bisa didapat, meski kita semua masih berstatuspelajar. Lewat media internal sekolah ? Kenapa tidak ? Kan isinya melulu seputar sekolah ?

Ya,itulah salahnya. Sebuah media internal sekolah, kalau melulu ditulis, dicetak dan diedarkan dan dibaca hanya di internal sekolah yang bersangkutan, itulah yang membosankan. Itulah yang membuat ekskul jurnalistik di banyak sekolah menjadi tidak menarik. Tidak mendapatkan pesertanya. Dan sekolah akan terus terbebani oleh biaya dan biaya, yang makin lama makin menjaditerasaberat. Tampilanmedia internal itu kian membosankan. Keberadaannya seperti rutinitas yang cenderung tidak diharap.

Itulah yang salah. Dan itulah yang sebenar-benar terjadi di banyak sekolah yang mempunyai media internal. Sosok media, entah berbentuk majalah atau buletin dan lainnya, menjadi tidak lagi menarik. Karena isi dan materinya hanya seputar sekolah yang setiap hari dijumpai.Sementara artikel dan tulisan lainnya, diunduh dari internet. Tidak ada pengalaman lapangan, menjumpai nara sumber dari berbagai kalangan. Tidak ada kehebohan mempersiapkan diri, menyusun daftar pertanyaan, mempesiapkan tustel, tape perekam dan lainnya. Tidak ada dan tidak didapat pengalaman yang mendebarkan, menghebohkan dan membuat panik banyak anak.

Itulah yang membosankan. Itulah yang menjemukan, untuk sebuah ekskul jurnalistik yang hanya ublek uthek di seputar sekolah. Padahal, anak butuh pengalaman. Anak didik butuh pengembangan diri, pengaktualisasi kemampuan dan keberanian. Anak didik butuh tantangan. Dan disitulah memang menariknya dunia jusnalistik. Bertemu dengan banyak orang. Bersua dan saling berinteraksi dengan banyak karakter. Pengalaman, itulah yang tidak mungkin tergantikan dan terbeli. Anak didik memang harus diiming-imingi semua pengalaman itu.

Lantas, apa guna semua pengalaman itu, di saat tugas sekolah makin banyak, pencapaian standart kelulusan yang makin tinggi, dan beban akademis anak didik dan guru makin banyak dan berat ?Bukankah semua pengalaman lapangan itu hanya akan menjadikan anak tidak fokus, dan cenderung menghambur-hamburkan waktu ?

Jangan salah, anak didik yang sudah sering terjun di lapangan, melakukan banyak tugas jurnalistik,pada dirinya pasti akan muncul sikap dan sifat baik terkait disiplin waktu dan pola belajarnya. Dia akan lebih menghargai waktu, karena saat dia sudah janjian untuk melakukan wawancara dengan narasumber, ketepatan waktu adalah hal yang utama. Dia juga akan terbiasa belajar dan mempelajari semua materi yang akan ditanyakan dengan efektif dan efisien, dan itu akan menjadi sebuah rutinitas yang terbentuk dengan sendirinya pada diri si anak.

Unggah-ungguh, budi pekerti juga akan dengan sendirinya terbentuk, karena saat harus berinteraksi dan berkomunikasi dengan banyak narasumber, perilaku yang sopan, santun dalam menyapa dan mengenalkan diri untuk kemudian melakukan wawancara, akan menjadi penentu keberhasilan wawancara itu sendiri. Anak didik akan terbiasa ber adab perilaku sopan, santun, sikap dan sifatnya akan menjadi baik dan itupasti akan menjadi kebiasaan di keseharian mereka.

Jadi ?

Saat sang Kepsek menganggap sebuah media di internal sekolah, hanya akan membebani keuangan sekolah, maka percuma segala keinginan menggebu anak didik dan guru. Saat sang kepsek menganggap keberadaan sebuah media internal sekolah, dan ekskul jurnalistik hanya akan mengganggu kewajiban utama guru sebagai pengajar dan anak didik sebagai pelajar. Maka bersiaplah menjalani rutinitas yang akan amat sangat membosankan. Maka bersiaplah untuk menjadi seperti robot yang dari waktu ke waktu menjalani alur dan tugas kesehariannya, tanpa pernah ada improvisasi dan inovasi. Dan itu artinya, membosankan!

Padahal, kalau sedikit saja, kepala sekolah mempunyai visi misi ke depan, mau menyisakan dan mengalokasikan sedikit anggaran sekolah untuk kegiatan ekskul jurnalistik. Maka, betapa akan ada semangat dari guru dan anak didik. Maka, akan ada kegiatan yang bisa menjadi lampiasan rasa bosan anak atas rutinitasnya sebagai pelajar. Maka, akan ada perhatian dari birokrat dari Diknas, akan ada acungan salut dari banyak sekolah. Dan itu artinya, sang Kepsek, akan terangkat secara pribadi, nama dan kredibilitasnya.

Tapi bikin media sekolah kan butuh dana yang tidak sedikit kan ? Sudah itu, apa ada guru yang masih bisa menyisakan waktunya untuk membimbing dan mendampingi anak didik, dalam proses pencarian, penulisan hingga pembuatan media itu ? Mereka kan sudah disibukkan dengan rutinitas harian yang padat. Bagaimana manajemennya, agar tidak membebani sekolah, di sisi dana dan SDM ?

Buku kecil inilah yang nantinya akan menjawab sebuah kata tanya di atas. Semua yang ada di buku ini adalah hasil dari pengalaman lapangan penulis, saat harus mengelola beberapa media internal sekolah, yang awalnya terus merugi, dalam artian pihak sekolah tombok terus dan terbitnya tidak bisa rutin bulanan atau 3 bulanan. Untuk majalah pendidikan Merah Putih, milik sekolah Nasima grup misalnya. Awalnya, diposisikan terbit3 bulanan, tapi pada kenyataannya, karena kesibukan guru-guru yang menjadi pengelolannya, terbitnya terkadang 4 atau 5 bulan sekali. Nah, saat manajemen dibenahi sedikit, sekarang, media itu bisa terbit rutin bulanan, dan untung secara finansial. Maksudnya, pihak Yayasan tidak lagi tombok, tapi pihak manajemen media sudah bisa menghidupi dirinya sendiri,dan untung setiap bulannya.Semua pengalaman itulah yang kemudian saya tuangkan dalam buku kecil ini.

Harapan saya hanya satu, setiap sekolah seyogyanya mempunyai media sekolah sendiri. Setiap sekolah, diharapkan mempunyai ekskul jurnalistik yang dinamis, dengan sebuah media sebagai wadahnya. Yang dibutuhkan hanya satu, keberanian. Ya, sang Kepsek di manapun dia berada, dia harus cukup mempunyai keberanian untuk menyatakanselamat datangpada sebuah media internal sekolah. Setelah itu, biarlah manajemen profesionalyang mengelolannya. Insyaallah, media itu tidak akan lagi menjadi beban keuangan sekolah, tapi jurtru akan menjadi salah satu unit usaha yang menguntungkan bagi sekolah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun