Mohon tunggu...
Warsito
Warsito Mohon Tunggu... Lainnya - Blogger yang suka berbagi informasi

Menjadikan kompasiana sebagai sarana untuk belajar menulis. Blog : maswarsito.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Kemana Rasa Malu Kita?

20 Juni 2014   21:48 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:58 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam perjalanan pulang dari survei lokasi bakti sosial di daerah pandak, sidoharjo, sragen pada 3 Januari 2012, saya mendapat SMS dari seorang teman, “Barusan ada telepon, ada donatur yang pengen di jemput dananya, daerah beliau juga sedang terkena banjir”, begitu isi SMS yang dikirim. Waktu itu memang beberapa kecamatan di Sragen terkena banjir sebagai akibat meluapnya sungai bengawan solo, banjir juga sempat memutus akses jalan solo – ngawi, sehingga lalu lintas dialihkan melalui gemolong.

Bersama seorang teman dengan berboncengan motor, kami segera meluncur ke alamat yang diberikan, sekalian survei juga untuk penyaluran bantuan. Beberapa ruas jalan yang kami lalui masih tergenang air yang cukup tinggi, termasuk ruas jalan kampung yang tercantum pada alamat donatur tadi. Setelah beberapa kali bertanya, akhirnya ketemu alamat yang kami maksud.

Dalam hati saya sempat bertanya, “Ini tadi mau berdonasi atau mau minta bantuan untuk korban banjir ya?” jangan-jangan teman saya salah informasi. Saya tidak mau menebak-nebak, akhirnya pertanyaan itupun segera saya singkirkan jauh-jauh sebelum timbul su’udzon dalam hati, saya harus mendengarkan terlebih dadulu apa yang beliau sampaikan. Pertanyaan itu muncul spontan dalam hati setelah melihat kondisi rumah beliau, yang sangat jauh berbeda dengan kondisi rumah donatur yang sering kami temui. Rumah tersebut berukuran sedang, masih berlantai tanah, dindingnya pun masih dari anyaman bambu.

Setelah kami mengucap salam, akhirnya kami dipersilahkan masuk. Tapi sebelum kami masuk buru-buru tuan rumah mencegah kami masuk, “Sebentar mas, tadi malam air sempat masuk ke dalam setinggi di atas mata kaki” kata beliau.

Ternyata beliau menata beberapa pecahan batu bata sebagai alas kami masuk ke dalam, “Tidak apa-apa bu, tidak usah repot-repot.”kata saya, karena sepatu kami juga sudah terlanjur bertambah tebal. Tekstur tanah di lantai rumah beliau cenderung lengket bila dalam keadaan basah, otomatis ketika berjalan diatasnya tanah akan ikut menempel.

Kami dipersilahkan duduk diatas tempat tidur yang terbuat dari bambu, di dalam rumah tidak nampak barang berharga, kursi sofa, televisi, motor atau yang lain.

“Mas sebenarnya niat saya untuk ikut berinfak sudah lama, tapi baru kelakon sekarang, karena nomernya saya cari baru ketemu tadi.” kata beliau mengawali pembicaraan sekaligus menjawab pertanyaan yang sempat terbersit dalam hati. Beliau memperlihatkan salah satu halaman di Majalah HADILA (Majalah yang diterbitkan oleh Solo Peduli sebagai fasilitas untuk donatur) edisi tahun 2009, yang di dalamnya tercantum nomer hotline Solo Peduli (Sebuah lembaga sosial kemanusiaan di wilayah Soloraya).

Sebelum berpamitan saya sempat menawarkan pada beliau untuk kami menggelar kegiatan bakti sosial disana, tapi di jawab oleh beliau, “Tidak usah saja mas, kemarin sudah beberapa kali ada kegiatan disini.”

Dalam perjalanan pulang, teman yang daritadi membersamai berkata, “Pak, tadi saya kira mau minta bantuan lho!” ternyata kami mempunyai prasangka yang sama.

Guru kehidupan

Saya mendapat pelajaran sangat berharga pada hari itu dari seorang guru kehidupan bernama Ngatinem. Ternyata kami salah menilai beliau, jika dipandang sekilas memang beliau termasuk keluarga miskin, tapi setelah dicermati ternyata beliau termasuk keluarga yang kaya, kaya dalam arti sesungguhnya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi nasehat berharga kepada sahabat Abu Dzar. Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku, “Wahai Abu Dzar, apakah engkau memandang bahwa banyaknya harta itulah yang disebut kaya (ghoni)?” “Betul,” jawab Abu Dzar. Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau memandang bahwa sedikitnya harta itu berarti fakir?” “Betul,” Abu Dzar menjawab dengan jawaban serupa. Lantas beliau pun bersabda, “Sesungguhnya yang namanya kaya (ghoni) adalah kayanya hati (hati yang selalu merasa cukup). Sedangkan fakir adalah fakirnya hati (hati yang selalu merasa tidak puas).” (HR. Ibnu Hibban. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa sanad hadits ini shahih sesuaisyarat Muslim)

Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Hakikat kekayaan sebenarnya bukanlah dengan banyaknya harta. Karena begitu banyak orang yang diluaskan rizki berupa harta oleh Allah, namun ia tidak pernah merasa puas dengan apa yang diberi. Orang seperti ini selalu berusaha keras untuk menambah dan terus menambah harta. Ia pun tidak peduli dari manakah harta tersebut ia peroleh. Orang semacam inilah yang seakan-akan begitu fakir karena usaha kerasnya untuk terus menerus memuaskan dirinya dengan harta. Perlu dicamkan baik-baik bawa hakikat kekayaan yang sebenarnya adalah kaya hati (hati yang selalu ghoni, selalu merasa cukup). Orang yang kaya hati inilah yang selalu merasa cukup dengan apa yang diberi, selalu merasa qona’ah (puas) dengan yang diperoleh dan selalu ridho atas ketentuan Allah. Orang semacam ini tidak begitu tamak untuk menambah harta dan ia tidak seperti orang yang tidak pernah letih untuk terus menambahnya. Kondisi orang semacam inilah yang disebut ghoni (yaitu kaya yang sebenarnya).”

Walaupun hanya seorang buruh di sawah, beliau sampai sekarang masih istiqomah bersedekah. Nilai sedekah beliau juga termasuk besar, minimal 50 ribu perbulan. Padahal kita yang diberi kemampuan harta lebih terkadang masih berat untuk bersedekah, meskipun hanya dengan uang Rp. 10.000,- perbulan. Kalau kita tidak merasa malu dengan beliau, pantas kiranya kita bertanya, “Kemana rasa malu kita?”

Terimakasih ibu Ngatinem untuk inspirasinya!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun