Leluhur umat manusia, lebih khusus leluhur bangsa ini, bagi Penulis, memiliki kekuatan adi luhung. Memang terlalu umum jika disebutkan seperti itu. Sebab, kehidupan manusia di setiap mileu tidak akan terlepas dari dua hal; antara baik dan jahat. Pun dengan leluhur bangsa ini, mereka sudah pasti terdiri dari dua unsur yang saling berparadoks, baik dan jahat, baik sikap mau pun pikiran.
Ke-adi luhung- an, leluhur Nusantara terlihat dari cara mereka menyusun dengan penuh kontemplatif segala sesuatu yang akan menjadi produk mereka, apa yang telah mereka hasilkan, dan filosofi-filosofi mendalam dalam tutur kehidupan leluhur kita hingga sekarang yang telah mengendap menjadi ajaran, nilai, serta norma-norma pengatur kehidupan.
Fokus penting para leluhur dalam menghasilkan sebuah produk adalah kedekatakan mereka dengan Sang Pencipta, ajaran pertama tentang kesakralan, ajaran yang bersumber dari nilai-nilai ke-Tuhanan. Para leluhur Nusantara tidak akan melahirkan produk apa pun tanpa melakukan proses permenungan dan sikap kontemplatif terlebih dahulu. Kenapa? Agar segala yang mereka hasilkan tidak bertolak belakang dengan kehendak Yang Maha Kuasa. Begitu pun dalam melahirkan ajaran-ajaran dan hukum-hukum dalam ketata-negaraan. Produk apa pun akan terlihat adanya keterikatan dan keterkaitan antara satu hal dengan hal lain.
Mencermati hal tersebut di atas, maka tidak menjadi persoalan, jika peradaban manusia tertua di dunia ini, kemungkinan besar, berasal dari Nusantara. Ini bukan sikap aplogetik, kecuali merupakan harapan, sebuah idealisme agar bangsa ini sadar terhadap ke-adi luhung-an para leluhur mereka.
Kemarin, Penulis mencoba melakukan pendekatan sejarah terhadap fenomena pemilihan presiden tahun 2014. Sedikit ada kemiripian antara pemilihan presiden saat ini dengan sekelumit sejarah kerajaan Mataram di era: Suksesi Tahta Jawa ke-dua. Dalam tradisi Nusantara (Sunda Besar dan Sunda Kecil), kondisi Negara, ketika terjadi perebutan kekuasaan, percekcokan dimana-mana, saling klaim kebenaran, terjadinya rusuh dalam satu ikatan Negara, sangat cocok dengan susunan abjad aksara Sunda-Jawa-Bali, SAWALA, percekcokan di sana- sini, alasan-alasan menjadi aroma kehidupan. Padahal, leluhur kita telah menciptakan agar kehidupan bernegara ini DATA SAWALA, jangan banyak percekcokan.
Jika diderivasi lebih luas, konsep HANA CARAKA, DATA SAWALA, PADHAJAYANYA, MAGA BATHANGA yang telah disusun oleh leluhur kita menggambarkan sebuah Negara ideal. Prapanca dalam Kitab Nagarakratagama, menyebutkan sebuah Negara yang lahir dari aturan-aturan kesucian, Negara yang tidak bisa dipisahkan dengan aturan-aturan ilahi. Negara ideal, menurut Plato dan Santo Augustinus adalah Negara atau Kota Tuhan, dimana segala potensi yang lahir di Negara tersebut adalah potensi yang telah diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Bukan Negara sebaliknya, Negara Iblis.
Dalam De Civita Dei, Augustinus menjabarkan, Kota atau Negara Iblis adalam sebuah tempat dimana percekcokan, saling klaim kebenaran, memperjual belikan ayat-ayat Tuhan demi mencapai tujuan, mengaku-aku diri sebagai utusan Tuhan di muka bumi, mengagungkan diri lebih dari Pencipta, dan berkumpulnya segala potensi kejahatan. Bahkan, Plato menyitir dengan nada keras, konsep Polytheisme Yunani merupakan cerminan berkumpulnya segala potensi kejahatan di dalam pribadi-pribadi para dewa. Dewa-dewa memiliki sikap iri, dengki, bahkan egosentris, merengek-rengek seperti anak kecil kepada Zeus agar maksud dan tujuan mereka tercapai.
Abjad aksara “HANA CARAKA, DATA SAWALA, PADHAJAYANYA, MAGA BATHANGA”, bagi siapa pun merupakan siklus kehidupan bernegara seperti Plato dan Aristoteles yang telah menyusun bentuk Negara dan sisitem pemerintahan. “HANA CARAKA “ adalah konsep kehidupan bernegara, dimana manusia bertindak sebagai CARAKA (utusan) Tuhan. Siklus pertama ini lahir ketika awal alam diciptakan oleh Tuhan.Dalam tradisi Semitik, Alloh menciptakan Adam sebagai kholifah di muka bumi sekaligus bertindak sebagai utusan-Nya. Masing-masing peradaban memiliki interpretasi berbeda terhadap manusia pertama ini, namun secara substansi, semua peradaban memberikan penegasan, manusia pertama di muka bumi ini bertindak sebagai utusan Alloh, bertugas menjaga dan memakmurkan bumi.
Kehidupan manusia semakin berkembang, dan ini membawa manusia kepada kondisi non- “DATA SAWALA”, sebuah roda, dimana teriakan dan demonstrasi dianggap hal wajar, caci-maki dan obral janji menjadi hal biasa bahkan terkesan lumrah. Kehidupan sulit untuk menemukan sikap-sikap “amanah”, kebobrokan dimanipulasi dengan alasan dan alibi. Hingga penentuan kepada Negara pun harus diserta oleh adu mulut, debat kusir, tidak bisa menerima kritik dan saran dari pihak lain.Oleh satu pihak, demokrasi dianggap sebagai sisitem yang harus diTuhankan, sementara oleh pihak lain, demokrasi disebut sebagai barang haram yang telah merenggut hak Tuhan. Percekcokan ini telah melahirkan kesubhatan /kebiasan dan kesamaran terhadap kebenaran sejati. Padahal, Alloh SWT tidak pernah memberikan beban berat kepada manusia untuk mengatur alam ini. Mekanisme yang telah diciptakan oleh Alloh telah benar-benar memerhatikan kapasitas manusia sendiri, hukum kausalitas, sebab akibat.
Ketika sisitem “DATA SAWALA” telah hilang dari kehidupan, sudah dipastikan Negara “PADHAJAYANYA” akan hilang, kondisi bobrok ini akan melahirkan Negara non- “MAGA BATHANGA”, sebuah kondisi perpecahan, baku-hantam, keropos, dan amah akan tetap sulit dijalankan di muka bumi. Lahirnya pemikiran, konsep Negara yang baik seperti dalam Wealth of Nation (Negara Berkemakmuran), Adam Smith, Scandinavian State Welfare, atau Nagarakretagama Mpu Prapanca pada dasarnya dilator belakangi agar kehidupan benar-benar selaran dengan konsep “HANA CARAKA , DATA SAWALA, PADHAJAYANYA, MAGA BATHANGA”.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H