Mohon tunggu...
Kang Warsa
Kang Warsa Mohon Tunggu... Sering menulis budaya, filsafat, dan kasundaan. Non Nobis Solum Nati Sumus

Sering menulis budaya, filsafat, dan kasundaan. Non Nobis Solum Nati Sumus

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tradisi dan Transendensi

9 Juli 2013   19:50 Diperbarui: 3 Juni 2025   05:20 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tradisi bangsa Semit (Yahudi dan Arab) kerap dibahasakan kembali oleh para tokoh agama pasca wafatnya para nabi sebagai sebuah tradisi sakral. Proses ini menjadikan tradisi yang bersifat historis sebagai sesuatu yang transenden, karena selalu dikaitkan dengan pelaku sejarah tersebut: para Nabi Allah. Ketika suatu praktik bersentuhan dengan prosesi kenabian, maka para tokoh agama tidak kesulitan untuk memformulasikannya menjadi nilai yang bersifat ilahiah.

Salah satu contohnya adalah kisah Bangsa Israel yang selama empat puluh tahun mengembara di padang Thih—prototipe dari diaspora. Dalam keterbatasan sumber daya di gurun tersebut, Nabi Musa bersama para pengikutnya mengalami kelaparan. Setelah era kenabian Musa berakhir, pengalaman itu diformulasikan oleh para Rabbi menjadi sebuah bentuk puasa sebagai penghormatan terhadap penderitaan para leluhur.

Eksodus besar-besaran Bangsa Israel dari Mesir, melewati Laut Merah dan terbebas dari kejaran Firaun, juga mengalami proses sakralisasi. Kaum Yahudi kemudian menjadikannya sebagai hari puasa. Para Rabbi berhasil mentransformasikan tradisi profan menjadi praktik spiritual yang wajib diikuti seluruh bangsa Yahudi. Ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk menerima nilai-nilai transendensi dalam hidupnya.

Tradisi ini menyebar ke wilayah Bulan Sabit Subur, Mesopotamia, dan kawasan gurun lainnya. Penyebaran tradisi Israiliyat bukanlah kebetulan, tetapi merupakan bagian dari proses pelembagaan keyakinan. Ketika tradisi yang telah ditransendenkan diikuti oleh mayoritas, maka titik aman peradaban bisa dicapai. Tradisi puasa bahkan kemudian diikuti oleh bangsa-bangsa lain seperti Assiria, Hittit, dan Aramia. Ini menunjukkan bahwa nilai-nilai ketuhanan tidak bersifat eksklusif bagi satu bangsa saja.

Tradisi Israiliyat ini, seperti puasa hari Asyura, juga diikuti oleh Nabi Muhammad ketika fase sejarah memasuki periode Madinah. Tiga suku Yahudi di Madinah biasa berpuasa pada hari Asyura, dan Nabi Muhammad bersabda, “Aku lebih berhak atas mereka.” Namun kaum orientalis seperti Zwemmer menuduhnya sebagai bentuk perampasan tradisi atas nama “hak”. Padahal, secara genealogis, Arab dan Israel berasal dari rumpun yang sama: bangsa Semit. Persoalan ini sebenarnya berakar dari sejarah kompromi tradisi yang terlupakan.

Tak lama kemudian, setelah muncul berbagai tuduhan dari para tokoh Yahudi terhadap ritual-ritual Islam awal, Allah menurunkan kewajiban berpuasa kepada umat Islam—sebuah kewajiban yang telah dilakukan oleh umat terdahulu. Ini adalah bentuk penegasan, bukan pembatasan. Dalam surat Al-‘Ashr disebutkan bahwa inti dari puasa adalah kesabaran dan pengendalian diri, bukan sekadar menahan lapar dan haus. Nabi pernah bersabda, Rubba shaa’imin laisa lahu min shiyaamihi illal juu’ wal ‘athsy, banyak orang berpuasa namun hanya mendapatkan lapar dan dahaga.

Menurut teori dominasi, peradaban manusia dimulai sekitar 3000 SM. Sejak saat itu, pusat peradaban didominasi oleh wilayah Mesopotamia, Mesir, dan kawasan Semit. Tradisi kenabian pun tak luput dari bias dominasi tersebut, hingga agama-agama besar lahir dan disebarkan melalui rekonquista—proses penaklukan yang diklaim sebagai penyebaran cahaya ilahi. Namun ini justru meminggirkan kearifan lokal yang lebih dulu mengenal konsep keilahian.

Jauh sebelum dominasi peradaban Semit, wilayah agraris seperti Nusantara telah mengenal praktik kontemplasi melalui puasa. Para leluhur (karuhun) melakukan penyatuan antara kosongnya perut dan pencarian spiritual. Mereka mengenal Tuhan tanpa perlu rekonquista. Bahkan dalam sejarah kerajaan Sunda, hampir tidak ditemukan ekspansi kekuasaan atas bangsa lain. Mereka mengajarkan nilai penting: tidak menyamakan "kafir" dengan orang yang berbeda keyakinan.

Dalam The Battle for God, Karen Armstrong menyatakan bahwa agama sering digunakan sebagai kendaraan kekuasaan. Dominasi atas nama Tuhan, dilakukan demi memperluas pengaruh dan memperbanyak pengikut. Simbolisasi pun ditanamkan di wilayah taklukan. Meskipun bangsa Arab memiliki potensi untuk menyatukan umat Islam, realitas politik membuat itu tidak terjadi. Mereka justru enggan mewujudkan khilafah karena akan mengancam eksistensi dinasti dan kekuasaan mereka sendiri. Gerakan khilafah seperti yang dimotori Taqiyyudin an-Nabhani menjadi ancaman bagi dominasi lama—sebuah varian baru dari rekonquista.

Kekecewaan semakin dalam ketika kita menyaksikan penderitaan rakyat Palestina, sementara devisa umat Islam dari ibadah haji dan umrah justru mengalir ke kerajaan Arab Saudi. Ironisnya, kekayaan itu digunakan oleh para pangeran kerajaan untuk berfoya-foya, bahkan di panggung Hollywood. Misi para Rasul untuk meluruskan ajaran telah dibajak oleh kepentingan politik yang menunggangi agama.

Fakta-fakta ini sering membuat kita lupa bahwa bangsa kita sejatinya adalah bangsa besar—yang paling awal mengakui keberadaan Tuhan Yang Maha Esa. Namun kini, kita lebih senang mengadopsi paham luar daripada menggali warisan luhur para karuhun, yang telah memahami puasa sebagai jalan kontemplatif penyatuan antara tradisi dan nilai-nilai transendens.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun