Mohon tunggu...
Kang Warsa
Kang Warsa Mohon Tunggu... Administrasi - Sering menulis budaya, filsafat, dan kasundaan

Sering menulis budaya, filsafat, dan kasundaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Hansip dan Demokrasi

24 Juni 2014   22:01 Diperbarui: 18 Juni 2015   09:15 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mereka bukan orang biasa atau luar biasa. Bahkan tidak pernah terbersit dalam diri saya, mereka akan mampu berdiri menghadapi tank-tank baja seperti para pejuang di Palestina atau seorang berbaju putih –entah siapa – yang berdiri di depan tank menuju lapangan Tianamen, China.

Mereka hanya berdiri di depan kotak-kotak suara di Kantor kecamatan atau bertugas di Tempat Pemungutan Suara setiap penyelenggaraan pemilu dilangsungkan. Surat kabar dan media-media cetak tidak akan pernah mengabadikan sikap dan upaya mereka, jika ada pun hanya dikupas setengah tanpa utuh.

Berseragam hijau-hijau: Orang menyebut mereka HANSIP.

Demokrasi sering mengingatkan kita kepada dua hal, rakyat dan apa yang akan mereka pilih. Aktor lain yang sering disebut-sebut oleh media massa adalah penyelenggara pemilu, saksi, juga tim sukses. Hansip sebagai petugas (bagi Saya pribadi, merupakan entitas penting dalam demokrasi) sering dilupakan seperti orang-orang hilang namun dibutuhkan keberadaannya.

Sejak era Orde Baru, beberadaan Hansip mulai memengaruhi wacana dan perbincangan masyarakat. Orde Baru memerlukan orang-orang seperti mereka. Stabilitas politik dan keamanan dubalut dengan Hankamrata telah memosisikan Hansip sebagai benteng utama dan terdepan dalam menjaga keamanan di masyarakat.

Di tahun 1980-an, Koramil-koramil dan polsek-polsek melakukan recruitment besar-besaran anggota Hansip. Beberapa bulan lalu, perbincangan Saya dengan sorang anggota Hansip melahirkan sebuah simpulan besar: dalam satu Rukun Tetangga, ketua RT diharuskan merekrut 2-4 orang anggota Hansip, kemudian dilaporkan ke kantor desa dan dicatatoleh petugas dari kecamatan.

Ketua RT dan RW bersama masyarakat diharuskan bahu-membahu melengkapi seragam mereka demi alasan pada saatnya nanti mereka pun akan memberikan hal terbaik kepada masyarakat, menjaga keamanan lingkungan.

Koramil dan polsek mengumpulkan mereka di lapang kelurahan atau lapang kecamatan, mereka dilatih bagaimana cara baris-berbaris dan pemahamang sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta.

Negara membutuhkan mereka demi satu alasan sejarah. Dalam menghadapi serangan dari para gerombolan, Orde Lama telah membentuk beberapa operasi antara lain; operasi “Pagar Betis” dan “Banteng”. Operasi “pagar Betis” terdengar begitu hiperbolik, dengan pendekatan denotative, operasi pagar betis pada dasarnya benar-benar menjadikan betis rakyat sebagai benteng pertahanan dalam memerangi kaum “gerombolan.”

Hingga saat itu, keberadaan rakyat sebagai benteng pertahanan dalam mengamankan lingkungan di masyarakat begitu masih dibutuhkan. Pemerintah sudah tentu tidak perlu menguras anggaran untuk membangun jenis pertahanan sederhana seperti ini, sebab kelahiran pertahanan sipil (rakyat) sendiri dihasilkan melaui sebuah upaya untuk memberdayakan masyarakat, swadaya murni masyarakat.

Saat perang sipil terjadi di Amerika, gerakan wajib militer mulai dibangun oleh para elit negara bagian di Amerika. Rekrutment pasukan sipil secara sporadis ini telah menghasilkan pasukan berani mati demi tanah kelahiran mereka. Tanpa diberikan pengetahuan kemiliteran dan strategi perang, mereka telah menjadi pasukan siap tempur, keberanian diteriakkan sebagai simbol para pahlawan. Martirdom-martirdom modern hanya disulut issue kemerdekaan dan kebebasan wilayah telah benar-benar membentuk diri mereka menjadi martir-martir siap mati.

Kebutuhan akan munculnya para martir berani mati ini tidak surut hingga akhir abad ke-18. Di awal akhir abad ke-19 hingga Perang Dunia I dan II masih sangat dibutuhkan oleh negara-negara yang jatuh ke dalam peperangan. Lebih modern, mereka dibekali persenjataan dan teknik-teknik kemiliteran. Namun mereka tetap memiliki satu semangat; berani mati. Dalam kaidah keagamaan dimunculkan; hidup mulia atau mati syahid. Para tentara sipil ini diberikan perlengkapan perang dan logistic militer seperti para tentara negara, mereka telah siap tempur, ketika meninggal diumumkan dalam surat-surat kabar sebagai pahlawan negara.

Kenyataan sejarah initelah membuka setiap negara, negara membutuhkan rakyat yang akan menjadi martir, untuk kondisi kontempoter para martir ini dilebih santunkan menjadi para pembela tanah air, di Negara ini muncul akronim Wabelu (Wajib Bela Umum); perang yang dihadapi bukan lagi pasukan kavaleri atau infantri dan tank-tank melainkan; kemiskinan dan ketidak-amanan. Hingga negara benar-benar sadar, rakyat sebagai benteng pertahanan harus dirapikan, diberi pemahaman semi militer namun tanpa harus menguras anggaran besar, Pertahanan Sipil lahir sebagai jawaban.

Wabelu dan Hansip lebih santun dan tidak segahar Wajib Militer, namun negara masih memerlukan perangkat ini sampai sekarang. Walaupun keberadaannya tampak sering dilupakan, termasuk dalam negara demokrasi. (*)

KANG WARSA

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun