Skema Geosentrisme Ptolemaeus
Kemarin, Saya membuat status –sedikit resmi-, tentang dua teori alam semesta, geosentris dan heliosentris. Melalui tulisan ini, Saya pada awalnya ingin menyajikan rumus-rumus astronomi dan fisika mengenai geosentrisme, bumi sebagai pusat alam semesta atau pusat tata surya. Hanya saja, setelah dipikir berulang kali, berhubung Saya masih bekerja di KPU, asas netralitas harus tetap ditegakkan, lalu diputuskanlah sesuai dengan kapasitas Saya, tulisan ini hanya menyajikan ruang singkat tanpa diembel-embeli rumus-rumus, Anda akan pening apalagi akan memasuki lebaran. (Hehe..)
Hal lain, Saya bukan orang NASA juga bukan sebagai fisikawan nuklir dan astronom ulung. Sudahlah, banyak sekali alasan-alasan kenapa rumus-rumus tidak akan Saya sajikan dalam penyampain dua faham tersebut. Bahaya, jika masalah tidak disampaikan oleh ahlinya, akan hancur dunia persilatan.
Dalam memahami dua hal berbeda, Saya akan menempatkan masalah tersebut pada posisinya masing-masing, tidak akan menempatkan diri Saya berada di pihak mana. Itulah pentingnya netralitas dalam segala hal, agar memunculkan penilaian obyektif terhadap satu masalah. Dalam persoalan geosentris dan heliosentris, Saya akan menempatkan sebagai penganut madzhab relativitas, bukan mau mencari aman, tapi ingin nyaman saja, heuheu.
Geosentrisme, faham yang menyebutkan bumi sebagai pusat alam semesta telah berkembang sejak jaman dahulu kala hingga abad pertengahan dan digeser dominasinya di era pencerahan. Ptolemaeus, astronom mesir ini sebagai pencetusnya, meskipun bisa jadi, beberapa milyar tahun lalu sudah ada Ptolemaeus lain yang lebih dulu mencetuskan teori ini.
Kenapa bumi sebagai pusat alam semesta? Para astronom jaman dahulu melakukan pengamatan dalam mengkaji satu persoalan mundial sering melalui dua pendekatan; empirik-logis dan supra-logis. Malahan, pengamatan supra-logis ini akan lebih mendominasi dari pendekatan sebelumnya.
Kajian supra-logis bersifat subyektif, sebab dipengaruhi oleh pengalaman supra-rasional dan spiritual seseorang. Pada beberapa tahun lalu ada orang mengaku telah menerima wahyu dari Tuhan lalu mendeklarasikan diri sebagai Nabi, itu subyektif karena berhubungan dengan pengalaman yang tidak dirasakan oleh orang lain. Alasan utama bumi dianggap sebagai pusat alam adalah; kehidupan hanya ada di planet ini. Dibantah dengan alasan apa pun, sesuatu yang hidup akan menjadi pusat segala sesuatu.
Faham ini berkembang dan diakui sebagai kebenaran mutlak, ya karena pada saat itu Einstein dan Hawking belum lahir. Berjalan bersamaan dogma-dogma dalam ajaran. Bukan hanya dikemukakan oleh Ptolemaeus, Aristoteles hingga kepada ilmuwan-ilmuwan Islam pun memegang teguh hal ini. Diyakini bahwa bumi sebagai pusat alam semesta, meskipun seorang ilmuwan Islam, Fakhruddin Arrazi menyebutkan; terlalu gegabah menyebut bumi sebagai pusat alam semesta ketika Tuhan berfirman bahwa alam ini berjumlah sangat banyak,Alhamdulillaahi robbil aalamiin, (Kata alamiin merupakan jama’ mudzakkar saliim, kalimat yang menunjukkan benda banyak bergender maskulin). Tapi Ar-Razi pun menyetujui beberapa hal dalam geosentrisme.
Di era pencerahan lah, geosentrisme mulai diusik oleh kaum cerdik-pandai, Copernicus dan Gallileo melakukan pengamatan terhadap benda-benda langit, gerakan dan posisi benda-benda langit tersebut. Walhasil, geosentrisme lahir, demi alasan, bumi melakukan dua gerakan, rotasi dan revolusi. Revolusi bumi ini lah yang menjadi alasan berubahnya penampakan beberapa planet saat dilihat dari bumi. Ternyata, matahari sebagai pusat alam semesta.
Heliosentrisme dipengaruhi oleh pengamatan dengan pendekatan yang lebih menekankan empiris-logis daripada supra-logis. Penemuan ini telah memukul teori geosentrisme yang telah didogmakan oleh ilmuwan dan kaum agamawan. Saat hiruk- pikuk terjadi, untuk menyelamatkan doktrin, kaum agamawan membuat pernyataan cerdik; “ Lalu, apakah dengan dicetuskannya heliosentrisme menggantikan geosentrisme, apa yang ada di dalam wahyu harus diubah?” Penolakan yang sangat diplomatis dan berusaha mengamankan ajaran agar tidak ditinggalkan oleh pengikutnya.
Nah, melihat pergolakan dua faham tersebut, maka Saya mempertimbangkan dan memutuskan, kedua faham tersebut bisa dikatakan benar jika kita menempatkan masalah tersebut pada tempatnya. Tidak boleh lah karena beda faham lantas harus ada bakar-bakaran seperti Gallileo yang dibakar hidup-hidup karena mencetuskan satu hal, bumi mengelilingi matahari.
Memang akan ada kembali perputaran teori, para fisikawan dan astronom tidak ingin meninggalkan jejak tidak berarti bagi generasi sebelumnya. Heliosentrisme mulai diteliti dan dikritisi kembali. Teori relativitas Al-Kindi yang diterjemahkan dan ditafsir ulang oleh Einstein menjadi acuan dalam mempertanyakan heliosentrisme. “ Jika ada dua benda sedang melayang di udara, terlihat oleh kita saling tarik menarik, maka sulit bagi kita untuk menentukan apakah benda yang satu sebagai pusat gaya tarik atau benda yang satunya lagi?” Artinya, tidak menjadi jaminan sebuah benda yang besar gaya gravitasinya lantas diklaim sebagai pusat dari benda-benda di sekitarnya. Sangat relatif.
Lalu apa sih pentingnya membahas persoalan ini? Ya, tidak terlalu penting amat, namun paling tidak Saya dan Anda bisa menyimpulkan, persoalan apa pun harus ditempatkan pada tempat yang seharusnya. Bukan kita yang menjadi bulan-bulanan persoalan tersebut. Netral itu harus ada di saat terjadi gejolak antara dua kubu. Namun saat hegemoni lebih didominasi oleh kebejatan maka disana benarlah apa yang dikatakan oleh Dante,”Tempat tergelap di neraka dicadangkan bagi mereka yang bersikap netral di saat krisis moral.” Nah lho!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H