“ Musuh pensil bukan lagi penghapus di zaman sekarang – tidak seperti ketika kita masih duduk di bangku sekolah -. Musuh pensil di zaman sekarang adalah bedil!” Ungkapan di atas rasanya tidak terlalu berlebihan ketika kita mengaitkannya dengan insiden Charlie Hebdo. Penembakan 12 orang oleh kelompok militan sebagai balasan terhadap apa yang dihasilkan oleh Media Mingguan Prancis tersebut. Sangat Kontroversial. Adakalanya media memang menjadi mediator, penengah terhadap informasi-informasi yang telah marah seperti benang kusud di atas kepala kita. Namun pada saat yang sama, media akan menjadi senjata baik bagi orang lain juga bagi media itu sendiri. Hal ini terjadi ketika media telah menempatkan posisi bukan sebagai pengimbang, namun sebagai penghukum. Kontradiksi yang terjadi adalah; kebebasan mengemukakan pendapat dengan dalil-dalil yang dikutif secara semena-mena dari Al-Quran oleh kelompok militan. Pemikiran Barat memang dilator belakangi oleh landasan berpijak liberalisme, kemerdekaan dan kebebasan berpendapat. Namun tetap saja, pandangan seperti itu pun sering berhadapan dengan sebuah ambivalensi. Saat tulisan atau lukisan ditujukan kepada kelompok Yahudi, media Barat menyebut sebagai perbuatan tidak menyenangkan, sikap anti semit. Kontradiksi ini pada akhirnya berujung pada perang antara pemikiran dengan fisik. Hal yang tidak memiliki ujung pangkal. Barat mengatas namakan kemerdekaan, sementara kelompok militan sering mengatas namakan agama. Padahal keduanya telah masuk ke dalam pseudo-logical, logika semu. Sebagai contoh, kebebasan seperti apa? Saat Media Barat menghakimi dan menelanjangi Islam dari berbagai sudut, mereka mengatasnamakan kebebasa. Pada saat yang sama, ada sekelompok wanita muslim berusaha mati-matian mengenakan pakaian penutup aurat , media Barat menyebutnya sebagai pemenjaraan. Padahal itu merupakan salah satu bentuk kebebasan bersikap dari wanita muslim. Pada sudut lain, kelompok militan sering mengatas namakan perbuatan mereka sebagai perintah dan kewajiban yang harus sesegera mungkin ditunaikan. Jelas, sekali, ini pun merupakan psudo-revelation, wahyu semu. Sebab, bagaimana pun juga Tuhan tidak akan pernah mewahyukan agar manusia saling membunuh satu sama lain. Pembunuhan dengan mengatas namakan Tuhan, sama artinya dengan membunuh sifat kemha murah-kasihan Tuhan. Jika saja di dalam ayat pertama Al-Fatihan terdapat Bismillaahirrohmaanirrohiim” maka kasih dan Sayang Alloh ini lah yang harus diproyeksikan dalam kehidupan. Bukan malah sebaliknya. Apa lacur, telah banyak sekali darah mengalir, nyawa melayang, dan harta yang hilang akibat manusia terlalu mengagungkan pseudo-freedom, kebebasan semu, dan melawannya dengan pseudo-revelation , wahyu semu. Dunia acap kali dipenuhi oleh permusuhan, sempit, dan pengap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H