Sebelum tahun 2000-an, Kawasan Pecinan kota Semarang hanya nampak sebagai kawasan bisnis dan pemukiman Tionghoa saja serta hanya terkesan kumuh dan bising. Pada pembukaan abad ke-21, saat Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menjalin kerja sama dengan Provinsi Fujian, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata saat itu, Henky Hermantoro, melontarkan gagasan membangun Jateng dengan menggali daya tarik wisata Pecinan.
Kajian itu dimulai pada tahun 2002 dan tahun 2003. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang memfasilitasinya, termasuk membentuk pasukan inti yang terdiri atas Djohan Firmansyah, Harjanto K. Halim, Hidayat Pranadya, R Sunarto, Robert Budi Wibowo, dan Widya Wijayanti. Psikolog Hendro Prabowo turut membantu melakukan kajian.
Terlontarlah nama ”Kopi” yang merupakan kependekan dari Komunitas Pecinan. Lalu, muncul kata ‘’Semawis’’, sebuah kosakata penamaan halus kata "Semarang" dalam bahasa Jawa yang dulu banyak digunakan pada tahun 1940-an, dan sekarang diadaptasi menjadi kependekan dari "Semarang untuk Pariwisata". Nama "Kopi Semawis" ini dicetuskan oleh Sundaru, orang Semarang alumnus SMA 3 Semarang, pada Juni 2003.
Maka, terbentuklah Kopi Semawis yang juga mencerminkan filosofi minuman kopi (untuk bertahan dari kantuk) dan mengandung harapan agar kehidupan kota di Semarang berlangsung lebih panjang, kesempatan menikmati keindahan kota itu lebih lama, dan waktu mengecap makanan juga lebih panjang. "Kopi Semawis didirikan bukan untuk berpolitik, tetapi untuk sosial, perikehidupan bersama antara warga Pecinan dan masyarakat luar. Dengan demikian, lahir interaksi dan akulturasi budaya yang baik,’’ tutur Ketua Kopi Semawis, Bp. Harjanto Halim yang masih didaulat sebagai ketua hingga saat ini.
Kopi Semawis adalah organisasi berbasis masyarakat yang dibentuk untuk revitalisasi kawasan bersejarah Pecinan Semarang. Tanggal 24 Desember 2003, dikeluarkan Keputusan Walikota Semarang Nomor: 650.05/306, tentang Pembentukan Tim Penyusun Revitalisasi Kawasan Pecinan Kota Semarang.
Lalu, digagaslah kegiatan Pasar Imlek Semawis pada bulan Februari 2004 dengan tema "Kebersamaan Merekat Persaudaraan". Acara itu digelar atas usaha patungan para pengusaha Tionghoa dan dikoordinasi oleh Komisaris Utama Suara Merdeka Group Ir. Budi Santoso dan sesepuh masyarakat Tionghoa, Hoo Liong Tiauw. Pasar Imlek Semawis yang menyajikan pasar Pecinan masa lalu ini sukses diselenggarakan. Banyak hal membuat pengunjung terhenyak ketika muncul produk masa lalu, seperti Batik Lasem. Mereka terbawa massa keemasan yang penuh kenangan. Pemerintah Kota Semarang bersama Bappeda pun merencanakan Pasar Imlek Semawis sebagai agenda rutin dan kawasan tujuan wisata tahunan. Pada tanggal 3 Januari 2005 diresmikan Gapura Pecinan Semarang (San Bao Long Tang Ren Jie) yang terletak perempatan Jalan Beteng, Jalan Gang Warung, Jalan Pedamaran dan Jalan Wahid Hasyim (Kranggan).
‘’Untuk tetap menghidupkan kawasan Pecinan, Kopi Semawis menggelar Festival Jajan Semarangan pada Mei 2005 dengan konsep seperti Kya Kya Surabaya. Dari festival itu muncul gagasan untuk membuat Waroeng Semawis, Pusat Jajan Semarangan pada Juli 2005,’’ kata Bp. Harjanto Halim. Pasar Imlek Semawis itu langgeng hingga kini. Bp. Harjanto Halim berharap, kontribusi yang diberikan Kopi Semawis, selain menjaga kelestariannya, tradisi dan budaya juga mendorong generasi kini dan mendatang mengenal, menerapkan, serta mengembangkan nilai-nilai yang dikandung untuk kehidupan yang ideal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H