Kebetulan lagi heboh. Saya juga kegatalan untuk membahasnya meski sudah bukan bidang saya lagi. Saya tidak akan mengkritisi mengenai salah atau benarnya itu karena keduanya bisa benar dalam sudut pandang masing-masing. Jadi, saya akan membahas bagaimana seharusnya menyikapi hal ini sesuai konteksnya. Saat sedang mengikuti bimbel di Makassar untuk tes SNMPTN saat itu, saya diminta oleh mama ponakan saya untuk membantu anaknya yang duduk di bangku SMP mengerjakan PR Matematikanya yang sama sekali dia tidak ketahui. Maka saya ke rumahnya untuk melihat buku panduannya. Jujur, saat pertama kali melihat contoh soal, saya hanya geleng-geleng kepala saja karena satu soal bisa menghabiskan 2 lembar halaman buku & jujur awalnya saya juga tidak tahu karena setahu saya, saya belum pernah mendapatkan materi pelajaran Matematika seperti itu selama sekolah jadi saya meminta waktu untuk mempelajarinya. Lalu saya tanyakan kepada ponakan saya apa tidak masalah jika saya mengganti prosedur penyelesaiannya dengan cara yang lebih singkat? Dia mengatakan tidak apa-apa. Setelah saya mencoba cara baru itu ke dalam semua soal & membandingkan dengan cara panjangnya ternyata jawabannya sama. Akhirnya saya memberanikan diri untuk mengajarkan kepada ponakan saya cara yang saya anggap lebih mudah untuk dia mengerti & juga singkat meski sebenarnya saya masih agak takut jika saja yang saya ajarkan akan membuatnya gagal. Heran karena PRnya selalu dapat nilai 100, teman-temannya pun bertanya padanya "kamu kursus Matematika dimana? Kami juga mau ikut. Berapa biaya kursusnya?". Saya yang aslinya dari desa baru tahu kalau anak kota ternyata gemar mengikuti kursus mata pelajaran tertentu, tidak sama di desa. Jadi, ponakan saya menjawab "kursus sama tante. Bayarnya pakai semangkok bakso". Wkkwwkwk. Saat itu, kerabat saya ini menyuruh saya untuk buka kursus tapi berhubung lulus SNMPTN jadi saya menolak karena mau fokus kuliah. Ehm, sebenarnya saat SMA saya bodoh sekali dalam hal Matematika karena jarang masuk sekolah karena sakit dan banyak main, tetapi saat SD & SMP saya bagus di mata pelajaran itu sampai pernah ikut lomba saat SD meski hanya dapat juara 2 sih. Wkwkwkkwk. Makanya saya mengatakan bahwa sudah bukan bidang saya lagi karena saya sudah mengambil jurusan non eksakta di bangku kuliah. Hanya saja sepertinya untuk membahasnya lebih lanjut memang membutuhkan bidang saya yang non eksakta lagi. Koq bisa? Ya, iyalah. Saya pernah ikut mata kuliah IPTEKS yang merupakan mata kuliah umum dimana saya jarang masuk. Yang saya heran kenapa saya mendapat nilai A sedangkan teman-teman saya yang rajin dapat A- dst. Ternyata jawabannya ada pada saat saya final dimana soalnya hanya ada 2 nomor dan harus menjawabnya dalam kertas polio sepanjang 1 lembar lebih. Salah satu pertanyaannya kurang lebih seperti ini: "Menurutmu, apa korelasi dan sumbangsih bidang keilmuanmu dalam perkembangan IPTEKS?" Seingat saya, saya menjawabnya intinya seperti ini "tak ada satu pun bidang ilmu pengetahuan, teknologi & seni yang tidak membutuhkan bidang keilmuan saya yaitu bahasa. Untuk menjabarkan & mendefinisikan ilmu tertentu sangat membutuhkan penggunaan bahasa yang tepat untuk menyampaikannya dengan baik sehingga dapat dipahami & diterima dengan baik. Penggunaan bahasa yang tidak tepat & juga tidak tepat sasaran akan mengakibatkan kesalahan yang fatal pada bidang ilmu itu". Jadi, mengenai 6x4 & 4x6 memang berbeda, sebab 6+6+6+6 tidak sama dengan 4+4+4+4+4+4 meskipun hasilnya sama. Tetapi siswa juga tidak bisa disalahkan karena ia memandang dari sudut pandang yang berbeda, yakni siswanya membaca 4+4+4+4+4+4 sebagai "angka 4nya ada 6 yang berarti 4x6", sedangkan gurunya membacanya "ada 6 kali angka 4 yang berarti 6x4". Jadi memang keduanya benar. Hanya saja menurut saya, posisi seorang guru belum benar-benar memahami tujuan pembelajaran Matematika pada tingkat SD, khususnya perkalian. Dimana kita tahu pada tingkat SD, segala sesuatunya masih bersifat dasar, siswa tidak harus dituntut menjadi ahli dalam bidang itu untuk menjabarkannya sedetail mungkin. Saya pikir, pembelajaran Matematika di SD bukanlah untuk mencetak seorang ahli tetapi tepat guna tidaknya ilmu itu dalam kehidupan sehari-hari siswa. Bayangkan saja jika siswa selalu diajar bahwa 4+4+4+4+4+4 itu adalah 6x4, bisa jadi pola pikir mereka akan terbentuk begitu kaku dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, ia ke warung membeli sebungkus roti Rp 1000,- dengan menggunakan selembar uang Rp 2000,-. Bisa saja dari rumah ia mengharapkan bahwa dia akan menerima kembalian selembar uang Rp 1000,- dengan pola pikir yang seperti itu. Tetapi pada kenyataannya penjaga warung memberikannya 2 koin Rp 500,- atau malah 5 koin Rp 200,-, dan bahkan uang gado-gado berhubung itulah yang penjaga warung miliki yang sulit ia terima. Atau dalam konteks perkalian. Ibunya menyuruhnya memindahkan balok-balok kecil sebanyak 24 buah dengan ukuran yang sama. Paling tidak, ia bisa berpikir berapa balok yang ia mampu bawa dalam sekali angkut & berapa kali ia akan mengangkut untuk mengefisienkan waktu sesuai dengan kemampuan angkutnya. Lebih baik menjelaskan kepada anak mengapa mereka perlu mempelajarinya & apa fungsi dari materi pelajaran yang mereka pelajari sehingga langsung dapat diaplikasikan daripada hanya berkutat pada teori, sehingga itu juga menggugah minat belajar anak. Sama seperti saya dulu yang sering ditakut-takuti bahwa jika bodoh dalam Matematika maka uangmu akan sering dicuri atau diambil orang lain terutama pedagang yang membuat saya memiliki motivasi untuk belajar Matematika. Seiring berjalannya waktu, mereka akan tahu sendiri bahwa 4x6 itu beda dengan 6x4. Sebab pengetahuan itu memiliki jenjang pendalaman demi tuntutan profesional di bidang ilmu pengetahuan itu sendiri. Sebaiknya para guru jika menemukan hal seperti itu, apalagi masih dalam tahap perkenalan ( di kelas 2 SD), ada baiknya jika tugas anak tetap dibenarkan tetapi tetap menuliskan koreksi seperti 6+6+6+6 = 4x6 sedangkan 4+4+4+4+4+4 = 6x4 agar ia dapat memahami perbedaan dari keduanya. Lagipula nilai 20 untuk ukuran anak SD itu sesuatu yang sedikit memilukan mengingat pola pikir anak SD memang lebih cenderung mengarah kepada hasil daripada proses. Salam edukasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H