Sigit Susanto, penulis buku "Menyusuri Lorong-lorong Dunia : Kumpulan Catatan Perjalanan" dulu adalah seorang tour guide di Bali. Pekerjaannya mempertemukannya dengan seorang perempuan keturunan Swiss, yang kini menjadi istrinya. Setelah menikah mereka bersepakat untuk tinggal di Swiss dan kemudian kembali ke Indonesia di usia tua. Sang istri sempat bertanya kepada Sigit, "Kalau nanti kembali ke Indonesia apa mau membawa uang yang banyak atau pengalaman (cerita) yang banyak?" Sigit lebih memilih membawa pengalaman yang banyak. Salah satu cara untuk memperoleh pengalaman yang banyak adalah melalui kegiatan traveling. Selama tinggal di Eropa, uang yang dikumpulkan oleh Sigit dan istrinya dari bekerja digunakan untuk berpergian ke berbagai negara. Kisah-kisah perjalanannya dituliskan dalam buku "Menyusuri Lorong-lorong Dunia : Kumpulan Catatan Perjalanan" jilid 1, 2, dan 3. Semuanya terbitan Insist Press. Saya membaca buku pertama ketika masih kuliah. Bukunya kini masih dipinjam teman dan belum kembali. Tapi saya masih ingat beberapa bagian dari buku tersebut yang membuat saya terkesan. Diantaranya kisah mengenai toko bukuShakespeare & Co. di Paris. Toko buku tersebut awalnya dibuka oleh Sylvia Beach tahun 1919 dan menjadi tempat berkumpulnya penulis diantaranya Ernest Hemingway dan James Joyce. Toko buku tersebut kemudian tutup tahun 1940 karena perang dunia. Tahun 1951, George Whitman membuka kembali toko buku tersebut sebagai tribute untuk toko buku yang dibuka oleh Sylvia Beach.  Konsep toko buku tersebut dibuat nyaman dan serasa sebagai "rumah" serta boleh menjadi tempat menginap bagi pelancong yang membutuhkan. Yang menginap biasanya punya tugas menjaga toko dan membaca buku. Sampai kini, beberapa pencinta buku punya impian untuk tinggal di toko buku legendaris tersebut. Saya ingat, dalam buku "Menyusuri Lorong-lorong Dunia" jilid pertama, diceritakan mengenai tulisan yang ditempel di toko buku tersebut yang intinya kita harus ramah termasuk kepada orang yang tak dikenal. Tulisannya :
"Be Not Inhospitable to Strangers Lest They Be Angels in Disguise".
... 34 buruh asal Mojekerto Jawa Timur, hidup selama 6 bulan (Agustus 2008 - Januari 2009) di dalam "rumah" di kota St. Gallen Switzerland. "Sangat mengharukan pertemuan saya dengan mereka. Â Bagaimana tidak, di tengah musim bersuhu 3 derajat celcius mereka tidak dibekali dengan jaket dan sepatu boot. Keluar pun hanya memakai sandal jepit. Kemudian bersama kawan kami kumpulkan pakaian layak pakai untuk mereka.
Saya tidak bisa membayangkan menghadapi udara dingin Eropa dengan tinggal di kontainer tanpa penghangat ruangan, tanpa pakaian hangat, atau sepatu boot untuk berpergian. Saya juga tidak pernah tahu bahwa ada orang Indonesia yang hidup seperti itu di Eropa, khususnya di negara seperti Swiss, tak terlalu jauh dari kantor PBB di Geneva. Buruh tersebut dibayar sangat murah (dengan standar gaji Indonesia) sehingga mereka sangat kaget mendengar standar gaji buruh di Swiss. Selama di Swiss mereka tidak punya uang untuk berjalan-jalan dan berinteraksi dengan penduduk di sana (kecuali mereka memilih berjalan kaki berjam-jam dengan sendal jepit) apalagi untuk membeli oleh-oleh (seperti gantungan kunci) untuk keluarga. Buku "Menyusuri Lorong-lorong Dunia : Kumpulan Catatan Perjalanan" banyak membuka mata saya. Selain belajar mengenai tempat-tempat menarik untuk di kunjungi di berbagai negara, saya juga belajar bahwa orang Indonesia tersebar di berbagai penjuru dunia. Meskipun begitu, realitas yang mereka hadapi berbeda-beda. http://mahkotalima.blogspot.com/2013/07/membaca-menyusuri-lorong-lorong-dunia.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H