Darah segar menyembur dari dada lelaki berwajah teduh yang tengah duduk tepat di depanku. Bibirnya masih tersenyum, matanya masih menatap teduh ke arahku. Aku terpaku, sebelum akhirnya aku menjerit!
Laki-laki yang begitu kukasihi itu jatuh tersungkur dengan dua luka tembakan di dadanya. Setengah tidak percaya, aku peluk erat tubuh lelaki yang usianya delapan tahun di bawahku itu. Tubuh itu bersimbah darah.
"Tidak!" kataku tak percaya. Lelehan darah masih terus keluar dari mulut, hidung, dan juga telinganya.
"Aku menyayangimu ... sampai kapan pun ... aku tidak akan pernah mau ... menjadi adikmu, sebab ... aku ingin menjadi suamimu."
"Jangan..... Jangan tinggalkan aku! Aku mencintaimu! Aku mencintaimu....," rintihku sambil terus mengguncang-guncang tubuh lelaki dalam pelukanku itu. Kucium bibirnya, darah segar masih terus keluar dari mulut dan dari hidungnya.
Aku meraung keras. Terus kupeluk erat tubuhnya. Bak kesetanan aku masih terus mencium bibirnya, bibir yang tidak pernah tahu, betapa aku sangat mencintainya.
Perlahan pandangan mataku menjadi gelap sebelum akhirnya aku tidak sadarkan diri saat beberapa orang lelaki yang tadi kulihat memakai seragam Pasukan Khusus berlambang burung hantu dengan seragam hitam, dan selalu memanggul senapan serbu di dalam setiap aksinya itu menarik tubuhku. Berusaha memisahkan pelukan eratku di tubuh lelaki yang 21 tahun lalu pernah memeluk erat tubuhku di tempat ini dulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H