"Dan, kamu memilih tetap bersamaku. Kenapa?"
"Aku tidak tahu. Saat itu aku berpikir, kalau aku lebih baik kehilangan pacarku daripada harus kehilanganmu."
"Kenapa?"
"Jangan tanya, kenapa. Sebab, sampai sekarang pun aku masih belum bisa menjawab itu. Sama seperti saat ini dimana aku, akhirnya, memutuskan untuk menemuimu di tempat ini."
"Mengapa kamu memutuskan untuk mengajakku bertemu di tempat ini?"
"Aku tidak tahu. Yang aku tahu, di sini ... Â kita pertama kali bertemu dulu."
"Kamu masih marah, karena aku tidak pernah memberi kabar setelah kerusuhan waktu itu?"
"Iya. Aku benci pada orang yang sudah membuatku menangis waktu itu. Aku begitu marah pada orang yang pergi menghilang begitu saja tanpa pernah memberi kabar apa pun. Waktu itu, aku hampir gila. Aku terus mencari dan mencari. Namun, kamu raib. Hilang seperti ditelan hantu. Sekian tahun lamanya aku menunggu kabar tentangmu hingga akhirnya aku memutuskan menikah dengan mantan pacarku yang kuputuskan dulu demi adik nakal yang tidak pernah tahu bagaimana perasaanku kepadanya. Dan, setelah sekian lama menghilang, tiba-tiba saja, entah dari mana dia bisa mendapatkan nomor handphone-ku, lalu bilang ingin bertemu denganku."
"Kamu cantik. Dari dulu kamu selalu cantik di mataku. Bahkan, sampai sekarang pun kamu tetap cantik."
"Pun setelah aku pernah menikah dan sekarang sudah memiliki dua orang anak?"
"Iya. Hmm. Pernah?"