Mohon tunggu...
MoRis Hong Kong
MoRis Hong Kong Mohon Tunggu... lainnya -

Migran. Pernah tinggal dan bekerja bersama kaum migrant di Melbourne. Sekarang tinggal dan bekerja di Hong Kong. Pernah mengajar di salah satu SMA di Malang, Jawa Timur. Penggemar kuliner nusantara. Penikmat kopi hitam.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Tikuangan Asmara Sibolangit : Vakansi ke Sumatera (4)

5 November 2013   22:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:33 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13836634941206028680

[caption id="attachment_290208" align="alignleft" width="300" caption="Gunung Sinabung dipandang dari Maranatha, Berastagi (koleksi pribadi)"][/caption] Hari ini saya melanjutkan perjalanan ke kota Berastagi. Teman yang saya ceritakan bersama saya dalam perjalanan dari Malang sudah berada di sana. Dia memberi pelatihan. Saya belum pernah ke sana, dan kebetulan ada kawan yang bisa saya tumpangi kamarnya, maka saya ke sana.

Memiliki banyak kawan dan saudara itu sangat menguntungkan. Seluruh perjalanan saya ke Sumatera hanya mungkin karena saya memiliki saudara atau kawan di sana. Seperti di Medan kemarin, saya tidak memusingkan tempat tinggal karena saya bisa menginap di rumah kawan-kawan. Urusan makan dan minum, asal tidak menuntut yang macam-macam saya juga bisa numapng di rumah mereka. Itulah yang saya lakukan.

Perjalanan ke Berastagi juga saya jalani secara cuma-cuma karena ada kawan yang datang ke Medan dari Pematang Siantar. Memang saya selalu beruntung, padahal saya sudah menghitung ongkos untuk naik kendaraan umum dari Medan ke Berastagi. Nyatanya ada tumpangan gratis. Kawan saya ini pernah sama-sama tinggal di Batu, ketika dulu saya memulai pendidikan di sana. Sedang kawan saya sudah cukup senior. Dia datang ke Medan karena menghantar seorang saudara yang hendak pergi ke Jawa. Maka semua seperti sudah diatur, sehingga saya bisa numpang di mobilnya dengan gratis.

Sebenarnya, dengan menghantar saya ke Berastagi, dia rugi waktu. Karena dari bandara Kualanamu, dia bisa mengambil jalan yang lebih dekat ke arah Siantar, tetapi persaudaraan mengalahkan ruginya waktu.

Jam 10 lewat kami meninggalkan Medan, dengan tujuan awal adalah bandara Kualanamu. Rupanya dia menggunakan mobil pinjaman. Kawan yang diantar ke bandara ini meminjamkan mobilnya, sebagai ongkos sudah diantar. Bahkan sebelum pergi kawan yang diantar ini masih berpesan; kalau mau menggunakan mobil untuk jalan-jalan juga boleh. Wahhh, betapa beruntungnya saya ini. Tetapi saya hanya meminta diantar ke Berastagi, ke rumah khalwat Maranatha di mana kawan saya memberi pembinaan.

Laiknya kawan lama, kami berbincang dengan seru sepanjang perjalanan. Perjalanan hidup telah membawa kami terpisah cukup lama karena terakhir bersama adalah tahun 1998. Memang setelah itu masih beberapa kali bertemu, tetapi tidak tinggal dalam satu rumah seperti dari tahun 1996-1998. Dia banyak berkisah. Seperti mengapa dia tidak memotong rambutnya. Karena dengan usia yang tidak lagi muda, terlihat dari janggut yang sudah memutih, jika dikombinasi dengan rambut panjang sebahu rasanya kurang rapi. Tetapi dia memiliki alasan sendiri. “Kalau proyek di Siantar selesai, rambut ini akan menjadi ungkapan syukur dengan cara dipotong”. Demikian dia menuturkan mengapa memanjangkan rambut.

Hari sudah siang dan perut kami sudah lapar. Tikungan-tikungan asmara di Sibolangit menambah seru daya kelaparan kami. Iya, tikungan-tikungan tajam ini kami namai ‘tikungan asmara’. Itu tidak lepas dari komentarnya mengenai tikungan ini. “Mereka yang sedang berpacaran menyukai jalanan ini. Ketika menikung ada alasan untuk bersentuhan.”

Tetapi ternyata teori tikungan asmara itu hanya berlaku bagi mereka yang menumpang kendaraan umum. Karena dengan penumpang yang berjubel maka saat menikung tajam ‘mau tidak mau’ akan menyenggol penumpang di sebelah. Susah kalau penumpang di sebelah adalah opung-opung, asamaranya bukan asmara yang indah. Hehehehe.

Kami memutuskan untuk berhenti mencari makan. Di sepanjang jalan ada banyak sekali warung. Terutama mereka menawarkan makanan khan Karo, karena daerah Sibolangit dan nanti daerah Berastagi sudah masuk Kabupaten Karo. Makanan yang terkenal adalah BPK. Tetapi bagi mereka yang mencari makanan halal, janganlah mampir ke sana. Masih ada pilihan warung yang lain, misalnya warung padang. Di warung inilah kami mampir. Saya memesan ikan bakar ditambah sambal. Saya kurang tertarik dengan menu yang lain. Kawan saya menikmati ikan juga tetapi tidak dibakar ditambah dengan sayur dan sambal goreng ati rempela. Setelah makanan di piring tuntas kami melanjutkan perjalanan. Sebenarnya sudah tidak jauh, tetapi kawan saya masih harus meneruskan langkah ke Pematang Siantar, ke rumahnya.

Saya tiba di rumah khalwat Maranatha ketika kawan-kawan yang di sana sedang beristirahat siang. Tanpa mau menggunggu saya menurunkan barang-barang dengan tenang. Sedangkan kawan yang menghantar dari Medan segera melanjutkan perjalanan ke Pematang Siantar.

Suasana sepi, saya mencoba mengenali situasi. Hawa dingin segera menyergap kulit. Apalagi saya baru datang dari kota Medan yang begitu panas, maka menerima sambutan sejuk dari angin Gunung Sinabung menjadi terasa begitu dingin. Ada satu tempat di mana saya bisa menatap Gunung Sinabung yang baru saja menunjukkan jati dirinya. Kelihatan sangat tenang, tetapi menyimpan rahasia yang begitu hebat. Tatkala erupsi, dia akan mengeluarkan ribuan kubik material panas. Tetapi setelah semua reda, semuanya menjadi lebih baik. Tanah menjadi subur dan ada banyak pasir untuk ditambang.

Saya juga teringat dengan perjalanan saya sendiri. Hari ini saya bisa berdiri menatap Gunung Sinabung. Perjalanan yang begitu berliku, seperti tikungan-tikungan Sibolangit. Ada bagian yang menakutkan, ada bagian yang menyenangkan. Dalam tikungan kita tidak mampu melihat dengan jelas apa yang ada di depan, maka kita hanya bisa berhati-hati. Agar lebih pasti kita membunyikan klakson sehingga tahu apakah di balik tikungan ada kendaraan yang akan datang atau tidak.

Hari ini saya berada di kota Berastagi. Minggu yang lalu saya belum tahu bahwa saya akan menginjakkan kaki di sini. Seperti hendak menikung tajam, saya hanya membunyikan klason dan ketika yakin tidak ada kendaraan lain, saya bisa melaju dengan baik. Bahkan semalampun saya belum berencana ke Berastagi hari ini. Hanya karena ada kawan lama yang datang ke Medan, maka saya bisa numang di mobilnya. Seperti sebuah kejutan yang muncul dari balik tikungan.

Tidak ada yang saya kenal di sini. Yang saya tahu, teman saya di sini memberi pelatihan. Saya hanya menumpang di kamarnya untuk tidur. Dan kalau beruntung bisa ikut makan. Mengenai apa yang akan saya lakukan, saya belum tahu. Saya sudah membunyikan klakson dan siap menikung. Semoga ada kejutan indah di balik tikungan itu, seperti tikungan-tikungan lain yang sduah saya lewati. (bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun