WARISAN BUDAYA INDONESIA – Meskipun asam ada di gunung dan garam ada di laut, keduanya bertemu dalam satu belanga. Walaupun yang ayu dari Indonesia dan yang gagah perantau dari China, mereka akhirnya bersumpah sehidup semati di bilangan Senjoyo, Semarang. Kisah asmara antara Mbak Wasih dan Koh Tjoa Thay Joe ini tetap melegenda sampai sekarang.
Sebetulnya keduanya orang kebanyakan saja. Mereka sama-sama penjaja penganan sejenis dadar gulung di Olympia Park, pasar malam di Semarang pada jaman Belanda sekitar tahun 1917. Yang beda, jajanan Mbak Wasih berisi potongan kentang, udang, dan manis rasanya. Sementara makanan milik Koh Tjoa Thay Joe isinya rebung, daging babi, serta asin rasanya. Karena yang dijual nyaris serupa, di antara keduanya pastilah ada aroma persaingan.
Untungnya, keduanya tidak memutuskan untuk bermusuhan. Sebaliknya, seturut naluri dua lawan jenis pada lazimnya, kedua pedagang kue beda budaya itu malah saling membuka ruang batin masing-masing. Rupanya ada debar-debar cinta di dada keduanya, tiap kali mereka beradu pandang. Asmara memang bermula dari tatapan mata sebelum akhirnya bersembunyi di lubuk hati yang paling dalam. Kata orang Jawa, witing tresna jalaran saka kulina.
Demi hidup yang lebih bahagia, Mbak Wasih dan Koh Tjoa Thay Joe lalu menikah. Hebatnya buka cuma fisik dan jiwa mereka saja yang berkawin. Keduanya juga berkreasi menciptakan makanan baru, dengan memadupadankan dagangan mereka sebelumnya. Maka jadilah makanan semacam rollade yang berisi rebung, telur, ayam, atau udang. Sampai sejauh ini, riwayat inilah yang dianggap sebagai latar kisah lahirnya lumpia Semarang yang kondang sampai sekarang.
Di China sendiri, lunpia atau popia, kabarnya sudah dikenal sejak jaman Dinasti Ming. Ketika itu tersebutlah seorang buta sebelah dan berkaki lumpuh sebelah bernama Zhai Fu Yi. Meski tunadaksa sesungguhnya ia cerdas dan berhati mulia. Ketika orang mengejeknya si buta, ia hanya menjawab, “Satu mata tapi bisa mengawasi jagad raya”. Saat orang mencemoohnya si pincang, ia hanya menukas,”Satu kaki tapi bisa melewati Pintu Naga.”
Zhai Fu Yi memang bukan orang pendendam. Herannya, banyak orang yang ingin mencelakai dia. Sampai-sampai sang Kaisar pun termakan hasutan, terbukti orang buta dan lumpuh ini diperintahkan menulis ulang sejarah Kekaisaran dalam tujuh pekan. Padahal dokumen yang mesti disalin tak kurang dari sembilan peti besar. Zhai Fu Yi tak punya pilihan lain, sebab jika menolak ia akan menjalani hukuman pancung.
Zhai Fu Yi menunaikan tugasnya tanpa henti. Sang istri tentu bersedih dibuatnya. Demi makan suaminya, ia kemudian melarutkan gandum dan memoleskannya tipis-tipis di atas wajan panas. Di atasnya, ditaruhnya sayur-mayur, daging, telur dan tahu, sebelum digulung menjadi selinder kecil. Waktunya makan, Nyonya Zhai menyuapi suaminya dengan makanan berbentuk gulungan berkulit tipis yang kemudian lebih dikenal dengan lunpia atau popia itu.
Boleh jadi, lumpia Koh Tjoa Thay Joe sebetulnya sama saja dengan lunpia Zhai Fu Yi. Mungkin juga, lumpia khas Semarang adalah turunan dari lunpia era Dinasti Ming. Kedua makanan berbentuk bulat-lonjong itu juga sarat dengan wangi bunga asmara. Bedanya tipis tapi tetap sejenis: lunpia beraroma cinta Tuan dan Nyonya Zhai Fu Yi, sedangkan lumpia menebarkan harum romansa Koh Tjoa Thay Joe dan Mbak Wasih alias Tuan dan Nyonya Tjoa Thay Joe. (naskah dari berbagai sumber; foto dari kitabmasakan.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H