WARISAN BUDAYA INDONESIA – Ribuan kalong terbang tinggi beriringan di angkasa Pulau Simeulue, Nanggroe Aceh Darussalam, Desember 2004 silam. Seturut instingnya, kemungkinan, koloni kelelawar besar itu hendak pergi jauh demi menemukan tempat baru yang lebih aman dan nyaman bagi keberlangsungan hidup mereka. Pemandangan itu sama sekali bukan lukisan imajinatif, tapi peristiwa nyata adanya.
Bagi kebanyakan orang, boleh jadi migrasi kalong-kalong itu tak punya makna apapun. Fenomena itu dianggap dan diperlakukan sebagai peristiwa alamiah yang biasa saja. Tapi, beda dengan masyarakat Simeulue yang menafsirkan bahwa kejadian itu sejatinya adalah salah satu pertanda bahwa marabahaya sudah di depan mata. Fenomena itu adalah sebagian dari isyarat bahwa malapetaka tak lama lagi akan tiba.
Kemampuan masyarakat Simeulue membaca tanda-tanda alam itu diwariskan secara turun-temurun. Sekadar catatan, pulau seluas kurang dari 200 hektar ini pertama kali diterjang amuk gelombang laut pada 1833, berikutnya terjadi lagi pada 1907. Ihwal bencana ini, sebuah ensiklopedia Hindia Belanda yang ditulis D.G. Stibbe pada 1909 menceritakan, pada 1907 itu seluruh pantai barat Simeulue dilanda ombak pasang sangat dahsyat dan menelan banyak korban.
Dikisahkan, ketika itu penduduk Simeulue tengah asyik mengumpulkan ikan sebab air laut surut tiba-tiba. Sayup-sayup terdengar gemerisik daun dan kayu kering yang terbakar. Makin lama, suara itu makin keras dan bergemuruh. Dalam tempo cepat, gelombang laut pasang setinggi gunung atau smong, lalu mengamuk, menggulung, dan menyeret mereka ke lautan. Beberapa selamat, sebagian besar hanya tinggal nama.
Demi mengingatnya, sejak dahulu hingga kini, tragedi itu selalu didongengkan berulang-ulang, atau dinyanyikan sambil diiringi biola, kendang dan rebana. Cerdasnya yang diceritakan bukan sekadar keganasan smong dan akibat yang ditimbulkannya, melainkan juga gejala-gejala alam yang mendahuluinya, seperti kalong-kalong besar yang bergegas terbang sebelum bencana tsunami pada 2004 lalu itu.
Kata smong sendiri yang diambil dari bahasa Devayan memang bencana dalam pengertian yang luas. Bagi orang Simeulue yang asal-usulnya adalah putri cantik bernama Si Melur, smong bukanlah padanan kata tsunami. Selain berarti gelombang laut besar, kata itu juga searti dengan guntur, angin kencang, badai dan sejenisnya. Termasuk juga kekacauan yang terjadi sebelum datangnya malapetaka.
Dalam praktiknya, ketika malapetaka akan tiba, kata smong akan diteriakan keras-keras oleh seluruh penduduk. Segera, siapapun yang mendengarnya lalu menyelamatkan diri ke tempat-tempat lain yang lebih tinggi. Berkat tradisi smong, di antara ribuan korban jiwa akibat bencana tsunami Aceh 2004 lalu, “hanya” tujuh orang penduduk Simeulue yang meninggal. Padahal, Pulau Simeulue letaknya paling dekat dengan pusat gempa.
Tidak heran jika dunia lalu ramai-ramai membicarakan smong. Yoko Takafuji misalnya, peneliti di Rikko University, Yokohama Jepang, serius meneliti tradisi yang mendapat anugerah Sasakawa Award dari International Strategy For Disaster Reduction (ISDR) ini. “Tradisi ini harus dipelihara terus-menerus dan menjadi contoh bagi dunia luar. Hasil penelitian ini akan menjadi referensi dan akan diadopsi di Jepang,” ujarnya. (naskah: dari berbagai sumber; foto: acehimage.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H