WARISAN BUDAYA INDONESIA – Tahukah Anda apa bedanya “beer” dan “bir”? Sebagian besar di antara kita pasti sepakat, kedua kata itu sami mawon. Kebetulan juga, jika ditelusuri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “bir” itu hanya serapan dari kata “beer” yang berasal dari bahasa asing. Secara leksikal makna kedua kata itu adalah sejenis minuman beralkohol yang dihasilkan melalui proses peragian.
Yang umum kadar alkohol dalam minuman ini berkisar 4-6% alcohol by volume (abv). Yang kurang dari 1% abv juga ada, cuma yang mencapai 40% abv juga banyak. Dalam catatan European Beer Guide, minuman berbahan baku utama berupa malt, sejenis gandum, ini merupakan minuman beralkohol yang terbanyak dikonsumsi di dunia. Pada 2012 misalnya, mengutip Kirin Holding Company, total produksi bir dunia mencapai 187 juta kiloliter.
Fakta lainnya, menurut Max Nelson dalam The Barbarian’s Beverage: A History of Beer in Ancient Europe, bir adalah minuman terpopuler ketiga di dunia setelah air putih dan teh. Banyak juga yang berpendapat, kata John P. Arnold dalam Origin and History of Beer and Brewing: From Prehistoric Times to the Beginning of Brewing Science and Technology, bir adalah minuman fermentasi tertua yang pernah ada di dunia.
Para peneliti menduga minuman sejenis bir sudah ada sejak 9500 SM, bersamaan dengan mulai dikenalnya budidaya biji-bijian. Menurut Michael M. Homan dalam Beer and Its Drinkers: An Ancient near Eastern Love Story, hal ini terekam dalam catatan sejarah peradaban purba bangsa Irak juga Mesir. Melalui proses panjang, saat ini industri bir telah menjadi bisnis berskala global yang dikuasai sekelompok konglomerasi kelas kakap.
Tak diketahui pasti, sejak kapan Indonesia mulai mengenal minuman jenis ini. Cuma, menurut cerita dari mulu ke mulut, orang-orang Betawi tempo dulu misalnya, sering melihat orang-orang Belanda meminum minuman dalam kaleng atau botol. Saat acara pesta-pesta, jumlah minuman kemasan yang ditenggak itu akan berlipat-lipat jumlahnya. Tidak heran, sesudahnya orang-orang Belanda itu banyak yang mabuk, teler, dan tak sadarkan diri.
Selidik punya selidik, orang-orang Betawi jadi paham nama minuman itu. Karena saat itu penduduk Betawi hampir semuanya Muslim dan diharamkan mengkonsumsi alkohol, mereka tak berani mencoba minuman orang Belanda itu. Karena tetap penasaran, tak diketahui pasti juga siapa pelopornya, kemudian terpikirlah untuk membuat minuman serupa tapi bebas alkohol. Inilah cikal-bakal minuman bir pletok yang diakui sebagai warisan budaya takbenda asal Betawi.
Kata “bir”, versi kebudayaan Betawi, memang tak searti dengan “bir” yang diserap dari “beer”. Mereka memungut kata itu dari bahasa Arab “bi’run” atau “abyar” yang berarti sumur atau sumber air. “Dulu orang Betawi yang pergi haji atau umroh ke Tanah Suci Mekkah punya kebiasaan berziarah ke Bir Ali (Sumur Ali). Jadi kata ‘bir’ itu sebenarnya merujuk pada kata ‘sumber air’ atau ‘air’ saja,” kata Sofyan Murtadho, salah satu budayawan Betawi.
Sementara asal mula istilah “pletok” sendiri, versinya banyak. Di antaranya, berasal dari bunyi kulit kapulaga yang pecah saat direbus bersama sekitar 10 rempah-rempah lain yang menjadi bahan dasar bir pletok. Atau dari bunyi sewaktu ditariknya kayu gabus yang jadi penutup botol kemasan bir ala Betawi yang bebas alkohol ini. Apapun versinya, bir pletok memang beda dengan beer atau bir pada umumnya. Selain mengeluarkan bunyi saat merebus bahan dasarnya, alih-alih memabukkan, bir ini sungguh sangat menyehatkan. (naskah dari berbagai sumber; foto dari rasamasa.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H