Saya baca judul ini pada sebuah tabloid perjalanan, Escape. Biasanya tabloid itu berisi informasi seputar tempat rekreasi/wisata dan berbagai akomodasinya. Bagi saya menarik ketika tabloid ini menawarkan satu alternative wisata, yaitu wisata keheningan. Keluar dari segala rutinitas dan masuk ke dunia hening untuk sungguh-sungguh menyegarkan pikiran dan hati yang sedang panas.
Bagi sebagian orang masuk ke dalam keheningan itu menakutkan. Banyak orang menjadi gelisah dan tidak yakin dengan dirinya sendiri ketika dirinya hening. Maka mereka membutuhkan teman agar tidak sendiri dan hening. Mereka membutuhkan teman yang berupa suara agar tidak menjadi takut. Teman itu bisa berupa music yang langsung menempel di telinga. Akibatnya jelas, mereka tidak membutuhkan teman yang lain.
Di bis kota, tram, train, di trotoar-trotoar, banyak orang telinganya dihiasi benda-benada yang menutup gendang. Bahkan ketika mereka bercakap-cakap dengan sesamanya, tidak jarang telinga mereka masih tertutup ‘speaker’. Seolah-olah ia akan mati jika benda itu bergeser dari telinganya.
Kembali kepada judul tulisan ini. Keheningan itu sungguh emas. Keheningan itu bukan sekadar tidak berbicara. Tetapi lebih jauh dari itu memberi kesempatan kepada pikiran, otak, dan badan untuk tenang. Tatkala badan tenang dan mulut terkunci namun gendang telinga terus dikirimi suara yang berdentum-dentum, sejatinya dirinya tidak hening, tidak tenang.
Apa perlunya sebuah keheningan? Keheningan membantu badan untuk tetap sehat. Lebih dari itu, menjamin pikiran tetap segar dan hati menjadi kuat serta sabar. Keheningan berarti memberi kesempatan seluruh indera ‘istirahat’ sejenak. Menghirup ‘udara’ yang segar.
‘Wisata’ keheningan itu memberi badan dan (juga) jiwa nutrisi yang meyehatkan. Bentuk dan ragamnya ada bermacam-macam. Mulai dari meditasi, retret hingga senam dan naik gunung. Proses keheningan dimulai dari tubuh dan kemudian mengalir kepada jiwa.
Tubuh, termasuk di dalamnya keseluruhan indera perlu diheningkan. Kemudian baru masuk untuk mengheningkan pikiran dan hati. Proses ini bisa dilakukan dalam waktu 30 menit. Duduk diam, atau bersila.
Sekjen PBB tahun 1953-1961, membuat ruang khusus untuk meditasi di kantor PBB. Ia melihat bahwa keheningan itu sangat penting. Berbagai konflik dan ketegangan terjadi karena pertama-tama manusianya tidak hening.
Lebih jauh, keheningan itu mempermudah manusia mendengarkan suara Tuhan. Keheningan sungguh-sungguh berharga, bahkan jauh melebih harga emas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H