Mohon tunggu...
Paulus Waris Santoso
Paulus Waris Santoso Mohon Tunggu... lainnya -

aku suka pelangi. dia suka memberi rasa. rasa akan hidup yang beraneka warna. warna-warna indah kebijaksanaan. pelangi kebijaksanaan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Lelaki yang Mengibarkan Bendera

25 Agustus 2011   04:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:29 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Namanya Ranto. Yoseph Suranto Basuki. Bekerja sebagai tukang bersih-bersih di gereja St. Francis Melbourne. Mengaku berasal dari Surabaya. Sudah cukup lama tinggal di kota multi budaya ini. Hanya beberapa kali saja bertemu. Ngobrol tidak pernah panjang. Namun meninggalkan beberapa kesan yang mendalam.

Jiwa patriotku ini besar sekali. Karena aku orang Surabaya. Demikian dia bertutur. Aku menjadi orang pertama yang akan maju untuk melawan mereka yang berani merendahkan bangsaku. Dengan berapi-api dia menunjukkan rasa cintanya kepada bumi pertiwi.

Rambutnya panjang, diikat dan bertopi. Sekilas melihatnya akan langsung mengenali sebagai ‘preman’. Yang tidak takut menghadapi apa pun. Kita harus tunjukkan bahwa kita ini bangsa yang besar. Kita harus buka mata orang-orang itu bahwa kita ini bangsa berbudaya. Urainya mengenai menjadi bangsa yang memiliki jati diri.

Waktu itu bulan Agustus. Tahun lalu tepatnya. Tanggal 17 sudah lewat, namun semangat perayaan merayakan kemerdekaan masih menyala. Hari itu, seusai berdoa bersama dengan tema kemerdekaan. Dia mendekatiku dan berpesan. Tahun depan kita harus kibarkan Merah Putih di depan Gereja. Berdampingan dengan bendera bintang selatan negeri kangguru.

Iya, itu tahun lalu. Di depan gereja ada dua tiang terpancang kencang. Yang satu biasa digunakan untuk mengibarkan bendera biru berhiaskan bintang dari selatan. Sebelahnya biasanya bendera kuning. Aku berpikir, alangkah gagahnya jika bendera merah putih bisa mengibar di sana. Di depan Gereja. Di tengah keriuhan kota Melbourne.

Tahun ini 17 Agustus sudah lewat tatkala aku kembali ke Gereja itu. Aku bergegas cepat karena waktu perayaan sudah mendekat. Sedangkan aku belum banyak bersiap. Selepas dari tram yang aku tumpangi dari rumah kediaman aku langsung lari. Menyibak kerumunan yang sedang mendengarkan dendang musik dari Amerika Selatan. Aku harus cepat.

Aku sedikit tercekat tatkala mendapati umat yang hadir tak ada seperempat. Toh itu tidak mengurangi rasa hormat. Bahkan perayaanpun menjadi kian hikmat. Ketika doa umat mulai memanjat, ada air mata mulai merambat.

Kami berdoa bagi para pemimpin negeri. Kiranya mereka diberi kebijaksanaan yang memadai sehingga mampu membawa bangsa kami kepada kedamaian dan keadilan sejati. Kiranya para wakil rakyat tidak hanya mementingkan urusannya sendiri dan kelompoknya. Semoga kesejahteraan rakyat menjadi tujuan utama dari usaha keras mereka. Semoga bangsa kami mampu keluar dari kemiskinan dan keadilan sehingga mampu berkarya bagi bangsa dan negeri.

Perayaan itu berlangsung sejam lebih sedikit. Dua tahun ini aku tidak ikut upacara bendera, tetapi mengenangkan peristiwa kemerdekaan dalam doa. Dalam hati ini ada permohonan yang terus berdengung. Tuhan berikanlah kami sungguh-sungguh kemerdekaan. Kemerdekaan juga untuk memuji-Mu. Kemerdekaan dari kekuasaan yang jahat. Kemerdekaan dari nafsu-nafsu yang mencengkeram setiap sendi kehidupan bangsa kami. Kemeredekaan dari kehendak untuk memakan sesame kami. Dua tahun ini aku hidup dalam alam kebebasan. Di mana setiap orang boleh melakukan apa saja asalkan tidak melanggar hukum. Di sinilah kerinduan akan keemrdekaan yang sejati itu semakin besar.

Selesai perayaan aku melangkah pelan. Tidak ada yang perlu dikejar. Sekonyong-konyong kuarahkan pandanganku ke arah tiang bendera. Tercekat mata ini. Tersentak hati ini. Merah Putih berkibar. Ya, Merah Putih berkibar dengan gagah. Berdampingan dengan bendera biru berhiaskan bintang selatan. Merah Putih berkibar sementara si biru nampak lesu. Seperti memberi kesempatan kepada merah putih untuk bersorak sejenak.

Aku lari ke belakang Gereja. Mencari lelaki itu. Yang tahun lalu mengusulkan untuk mengibarkan bendera. Aku jumpai dia sedang membersihkan sapu dan kain pel-pelan. Aku berhenti sejenak memandangnya dengan sedikit kaget. Ada yang berbeda.

Kamu yang mengibarkan bendera? Tanya saya di sela nafas yang deras. Ia hanya mengangguk pelan. Aku sedikit kecewa. Karena aku mengharapkan jawaban yang penuh semangat. Yang bergelora dari jiwa yang dibakar rasa cinta. Kamu sakit? Tanyaku kemudian. Tidak. Aku tidak sakit. Aku hanya prihatin.

Aku mencintai bangsaku. Aku berusaha mengobarkan Merah Putih di manapun aku berada. Tetapi aku sedih dan prihatin dengan para pengemban kekuasaan bangsa kita. Mereka memalukan. Mereka bukan pemimpin. Mereka hanya mencari kesenangannya sendiri. Mereka tidak benar-benar memikirkan rakyat. Mereka bukan pemimpin. Kemudian dia diam. Menarik nafas panjang dan mengusap matanya.

Aku diam. Hatiku juga bergolak. Aku pandangi lagi Merah Putih yang terus berkibar. Teruslah engkau di sana. Para pemimpin itu akan berganti, sedang engkau tidak akan berganti. Para pejabat itu akan tamat, tetapi engkau akan tetap semangat. Berkibarlah benderaku, Merah Putih gagah perwira. Meski aku di perantauan, akan kukibarkan dikau selalu. Jika bukan di tiang itu. Pasti di hatiku.

[caption id="attachment_127676" align="alignnone" width="300" caption="Bendera Merah Putih di depan Gereja St. Francis, Melbourne (Sebelah Melbourne Central, koleksi pribadi)"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun