Mohon tunggu...
Paulus Waris Santoso
Paulus Waris Santoso Mohon Tunggu... lainnya -

aku suka pelangi. dia suka memberi rasa. rasa akan hidup yang beraneka warna. warna-warna indah kebijaksanaan. pelangi kebijaksanaan.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Ini Bujangan Sam!: Journey of Kuliner di Kalimantan (4)

3 Juli 2010   22:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:06 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_184455" align="alignright" width="228" caption="Ini foto adik saya, sepertinya sudah di pabriknya yang baru. Foto saya ambil dari halaman FB-nya."][/caption] Hari sudah meninggalkan siang dan malam akan segera menjelang ketika kami datang. celoteh anak-anak yang baru dimandikan ibunya berlarian di jalan yang sedikit basah. Nampak beberapa karyawan masih dengan seragam pabrik melenggang pulang. Di papasan jalan, kami bertegur sapa. Setiap orang yang kami jumpai di jalan saling kenal. Dan adik saya menjelaskan semua. Siapa mereka, dari mana, pangkatnya apa, anaknya berapa. Karena mereka hidup dalam perumahan pegawai yang sama.

Sesungguhnya lokasi pabrik ini sungguh indah. Memang berada di tengah hutan, tetapi berada di mulut sungai. Bukan sembarang sungai tetapi sungai besar yang mampu dilayari kapal besar. Tentu saja jalan air dipilih untuk mengangkut CPO yang diproduksi di sini.

Lokasi perkampungan pegawai itu cukup menarik. Tak berbeda jauh dengan perumahan-perumahan di kota. Ada anak-anak kecil berlarian, pertanda di sana ada keluarga. Ada lapangan voly, pertanda ada kegiatan olah raga. Ada kantin tentu saja, karena banyak bujangan di sana.

Perumahan itu sendiri terdiri dari beberapa bangunan dengan ukuran yang berbeda-beda. Ada yang besar ada yang kecil, tergantung jabatan mereka. Mereka dengan jabatan manager ke atas mendapatkan rumah besar dengan halaman luas. Sedangkan mereka yang menjabat asisten manager mendapat rumah yang lebih kecil lagi. Selebihnya menempati bangunan yang lebih sederhana lagi.

Adik saya jabatannya asistennya asisten. Atau persisnya saya tidak tahu. Saya bingung menerangkan karena tidak pernah bekerja di pabrik. Katanya bawahnya asisten, atasannya operator. Operator itu juga apa saya tida mengerti. Yang jelas dia menempati mess yang sederhana. Hanya lebih baik dari barak.

Rumahnya memiliki dua kamar dan satu kamar mandi. Idealnya rumah itu untuk satu keluarga, itu pun sederhana. Meski demikian itu jauh lebih luas dari rumah-rumah sederhana yang ada di perkampungan di kota-kota.

“Ini istana bujangan Sam.” Kata adik saya menerangkan isi rumahnya.

Bangunan dua kamar ini dihuni oleh 4 orang. Jadi satu kamar untuk 2 orang. Satu kamar sedianya hanya untuk satu orang, maka hanya ada satu tempat tidur. Karena harus ditempati dua orang maka diberi satu kasur tambahan di lantai. Biasanya, kalau ada satu dari mereka menikah, dan menempati rumah tersebut, ‘bujangan’ yang lain pindah ke pondok yang lain lagi.

Ada satu almari untuk dua orang. Ada Televisi, tape compo dan kipas angin hasil beli sendiri. Perusahaan tidak memberi sarana untuk itu. Tidak ada kursi tamu di ruang tamu. Karena mereka tidak pernah menerima tamu. Ruang tamu hingga ruang tengah kosong. Lantai hanya dialasi perlak, semcam plastik yang kaku dan berwarna. Satu ruangan lagi yang semestinya menjadi dapur penuh dengan pakaian yang digantung.

“Ini bujangan sam, maka tidak teratur.” Kata adik saya lagi.

Mereka pernah mencoba masak sendiri, tetapi malah tidak karu-karuan. Kerja mulai jam 7 pagi hingga jam 7 malam tidak memungkinkan untuk masak-memasak. Pakaian seragam pun hanya dicuci dan dijemur. Tidak ada acara menyetrika.

“Nggak sempat Sam,” alasan Dwi kenapa pakaiannya ga pernah disetrika.

Semua orang akan maklum. Karena bujangan. Untuk urusan makan ada kantin ataupun warung-warung di kampung. Kalau makan di kantin tinggal mencatat nanti akan dipotong dari uang makan. Kalau mau sedikit variasi ya pergi ke kampung terdekat untuk membeli makan di sana.

Hidup Bujangan

Setelah melihat-lihat kondisi kamar, saya kemudian mandi. Setelah seharian ‘berkuda’ di jalan, mandi memberi kesegaran yang tiada tara. Sehabis mandi keadaan sudah gelap. Dwi mengajak saya ke kampung. Rupanya ada temannya, pemuda dari kota Solo yang menikah dengan gadis setempat.

Temannya ini baru saja mengalami kecelakaan, bersama istri dan anak gadisnya yang baru berusia satu tahun. Semua mengalami patah kaki. Irawan, nama teman adik saya, dan anaknya sudah sembuh. Namun sang istri belum pulih. Bahkan sebagian tulang pinggulnya harus diganti akibat kecelakaan itu. Sebenarnya mereka sudah memiliki rumah sendiri, rumah mess, namun karena kecelakaan itu harus ada yang merawat mereka. Akhirnya Irawan dan keluarganya pindah ke rumah mertua, di daerah perkampungan.

Rumahnya unik. Dari jalan yang sangat gelap, rumah itu kelihatan kecil saja. Di ruang tamu, saudara-saudara dan mertua Irawan asyik nonton televisi. Rupanya mereka baru saja makan malam. Kami langsung di bawa ke ruang tengah. Di sana kami bertemu dengan istri Irawan yag masih belum pulih kondisinya dan Gadis, nama anak Irawan. Setelah ngobrol sejenak kami kemudian diajak ke ruang belakang untuk makan. Ternyata ruang belakang itu begitu panjang. Karena masih ada dua ruangan lagi ke belakang.

Tuan rumah menghidangkan nasi putih dan daging. Mereka baru saja menyembelih dua ekor binatang piaraan sebagai ungkapan syukur atas pulihnya kondisi kesehatan anak, cucu, dan menantunya. Pestanya sendiri diadakan tanggal 1 malam. Waktu itu kami masih ada di Sampit, maka kami tidak bisa hadir. Hidangan yang kami santap ini adalah ‘sisa-sisa’ pesta. Sebenarnya tidak ada perbedaan antara yang baru dengan ‘sisa’. Karena mereka mengolahnya menjadi baru.

Saya sedikit kaget melihat cara Dwi makan. Dulu sewaktu masih di Malang, dia tidak suka daging. Hal itu saya ketahui kalau saya pulang kampung dan kami makan bersama, ia selalu memilih sayuran, atau menurut orang kampung disebut jangan. Kesukaannya dulu adalah jangan blendrang. Itu adalah nama bagi makanan yang sudah dihangatkan terus menerus beberapa hari. Tidak semua jangan bisa dibuat blendrang. Rasanya memang enak, tetapi kandungan gizinya sudah tidak ada.

Namun di sini ia mau makan daging, bahkan tambah lagi.

“Kalau di sini tidak mau makan daging trus mau makan apa? Tahu tempe nggak ada, mau makan sayur terus nanti dikira mau jadi pertapa. Ya santap saja apa adanya.” Urainya ketika kutanya mengapa sekarang mau makan daging.

Setelah puas makan, kami kembali ke ruang tengah untuk melanjutkan ngobrol. Tentang anaknya yang harus selalu diayun agar mau tidur. Tentang tetangganya yang meninggal, yang sudah berbau namun belum juga dimakamkan. Tentang sungai belakang rumah yang 4 kali setahun banjir, padahal dulu hanya sekali setahun. Tentang habisnya pohon ulin. Tentang buaya yang baru ditangkap warga. Semuanya gayeng, saya bisa menikmati perbincangan itu meski sering diselingi bahasa Sampit. Setelah cukup malam kami pamit pulang.

Besoknya Dwi berangkat kerja pukul 6.30. Dia bilang hanya akan absen dulu trus pulang sarapan. Jam 8 dia datang dan mengajak saya sarapan di kantin. Menunya nasi, mihun, dan sate. Nasinya buanyak. Saya sampai terengah-engah untuk menghabiskan. Benar-benar porsi untuk para karyawan yang membutuhkan banyak energi. Ada teman yang menyebut porsi demikian dengan porsi kuli. Atau kalau di Malang ada ungkapan, porsi becakan. Alias porsinya abang becak. Ungkapan yang tidak pernah dimaksudkan untuk menghina. Hanya gambaran porsi yang banyak sekali. Terutama nasi.

Siang harinya, ketika kami kembali ke sana, saya minta agar nasinya setengah saja. Tidak sanggup perut ini untuk menahannya. Rasa masakannya sangat standart. Para karyawan, terutama yang masih bujangan, tidak punya pilihan lain meski rasa masakannya kurang nendang. Dari pada lapar, yang penting perut terisi dan kuat untuk bekerja. Mereka tidak ngomel, karena ngomel pun percuma. Kalau mau ya silakan masak sendiri, kalau sempat. Toh untuk belanja harus pergi ke kecamatan. Dan itu susah sekali. Maka terima saja apa yang ada.

Hidup membujang memang menyenangkan. Bukan karena aku bujangan dan memengaruhi kalian untuk turut membujang. Seperti dikatakan oleh Bang Rhoma, enaknya hidup membujang, kemana-mana tiada yang melarang. Atau disuarakan Koes Plus, hati senang meski tak punya uang. Asal hidup tak melanggar norma dan tatanan, apapun pilihan hidup akan menyenangkan. Termasuk hidup membujang.

(bersambung)

Sebelumnya : Mie Bakso Parenggean

Sesudahnya : Berpisah

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun