Mohon tunggu...
Paulus Waris Santoso
Paulus Waris Santoso Mohon Tunggu... lainnya -

aku suka pelangi. dia suka memberi rasa. rasa akan hidup yang beraneka warna. warna-warna indah kebijaksanaan. pelangi kebijaksanaan.

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Gudeg

12 Desember 2010   05:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:48 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Teman, hari ini saya mendapat kiriman gudeg. Sesuatu yang menyenangkan, bisa menikmati gudeg di negeri orang. Kawan yang mengirim gudeg ini bukan orang Jogja, tetapi rupanya ia piawai membuat makanan khas Jogja ini.

Sahabat saya ini menoba membuat gudeg komplit. Jangan buru-buru membayangkan gudeg komplit asli Jogja. Dalam satu wadah ada ‘gori’, kacang tunggak, telor, ayam, rambak, dengan cabe yang utuh menggoda air liur. Ketika menerima gudeg itu tadi pagi, saya sempat tak bisa berkata-kata. Ini hadiah yang luar biasa. Karena semuanya serba ‘impor’.

Kontan sehari ini hati saya berbunga-bunga. Telah lama sekali saya tidak menikmati gudeg. Saya sudah mulai lupa rasa gudeg kendil yang bisa dikirim oleh sahabat saya dari Pakem – Kaliurang, Jogja. Tetapi hari ini, saya diingatkan kembali. Masakan yang kalau diinapkan akan semakin lezat rasanya ini mampu membawa saya kembali pulang ke kampung halaman.

Jangan gori

Buah nangka sebagai bahan dasar membuat gudeg, biasa kami sebut gori. Salah satu masakan kegemaran kami di desa dulu adalah ‘jangan gori’. Menjadi favorite karena dengan sekali masak bisa tahan hingga 5 hari. Seperti saya katakan di atas, semakin diinapkan rasanya semakin nendang. Meski gizinya sudah semakin hilang.

Saya ingat suatu saat pernah sakit panas. Sudah dua hari panas itu tak kunjung turun. Kemudian saya minta kepada ibu supa dimasakkan ‘jangan gori’. Nasi yang mengepul, dipadu dengan gori pedas panas dan kuah kental, sungguh mampu membuat panas badan saya terpental. Selesai makan saya langsung lari bermain. Saya jadi geli sendiri mengingat itu. Jangan gori membuat badan sehat kembali.

Beberapa tahun lalu, saat saya liburan ke rumah ibu, ada keinginan untuk dimasakkan jangan gori lagi. Sayang, pohon nangkanya sudah dipotong. Tidak ada gori lagi. Sehingga tidak bisa meminta supaya dimasakkan menu idaman. Sebenarnya kalau sedikit memaksa sih bisa, karena ada tetangga yang memiliki pohon nangka.

Obat judeg

Judeg itu bahasa kampung saya untuk menggambarkan suasan hati yang tidak menentu. Banyak pikiran yang tak terpecahkan. Seolah semuanya mengepung menjadi satu. Di situlah biasanya kamu menyebut sedang judeg.

Ketika saya bertugas di kota Blitar pada tahun 2004, saya menemukan satu warung gudeg yang sangat populer. Begitu terkenalnya sehingga dalam beberapa jam saja, menu kesayangan itu sudah habis. Maka saya biasa datang ke sana pagi-pagi sebelum terlambat.

Gudeg yang disajikan sebenarnya berbeda dengan gudeg kiriman sahabat saya di Pakem. Gudeg ini sudah dimodofikasi, disesuaikan dengan lidah Jawa Timur. Tidak terlalu manis lagi, dan cecek-rambaknya lebih banyak dengan cabai yang menggoda.

Karena melihat saya senang sekali gudeg, banyak teman suka membeli makanan itu untuk diberikan pada saya. Tentu saja saya senang. Bahkan tidak jarang, kawan-kawan yang tinggal di Blitar itu, khusus membawa gudeg kalau mereka dolan ke Malang, untuk diberikan sebagai oleh-oleh.

Pernah mereka berkelakar bertanya, mengapa saya begitu tergila-gila dengan gudeg. Spontan saya jawab bahwa gudeg itu obat judeg. Mereka tertawa. Padahal itu benar. Sarapan berteman gudeg membuat hati ini dibanjiri kegembiraan. Seolah semua perkara rela menyingkir. Mungkin saya terlalu membesar-besarkan. Tetapi saya memang sungguh menggemari makanan Jogja itu.

Hati-hati budeg

Budeg itu bahasa Jawa artinya tuli. Memang terlalu dipaksakan kalau seseorang makan gudeg akhirnya jadi budeg. Itu pasti tidak benar dan hanya mengada-ada saja. Lantas apa yang hendak saya kemukakan dengan berkata hati-hati budeg?

Ini sebenarnya sebuah peringatan untuk diri saya sendiri. Sebuah langkah mawas diri. Karena terlalu menyenangi sesuatu, kerap saya lupa diri. Bahkan bukan hanya lupa, tetapi juga tidak mampu melihat dan mendengar apa yang terjadi di sekitar.

Terlalu menuruti kesenangan kerap membuat mata-hati-telinga jadi budeg. Saya pernah mengalaminya. Karena senang akan sesuatu yang berlebihan saya mendapatkan celaka. Padahal kesenangan saya adalahs esuatu yang biasa, bukan yang membuat orang lain resah, bukan yang membuat orang lain sakit hati dan gelisah. Apa jadinya kalau kesenangan saya adalah ‘ngusrek-usrek’ sesuatu yang telah mapan. Lebih memprihatinkan lagi kalau ada sesuatu yang lebih serius yang semestinya harus saya kerjakan.

Hari ini saya begitu bersuka hati karena mendapat kiriman gudeg. Hanya saya berharap bahwa ini tidak membuat telinga-mata-hati saya menjadi budeg. Semoga saya masih mampu mendengar suara-suara yang lain, bukan hanya pikiran saya sendiri.

Hmmm, sudah hampir sore, saya harus memanaskan gudeg untuk makan malam. Semoga Kalian semua mendapatkan sesuatu yang menggembirakan hati, meskipun bukan gudeg, tetap saya doakan Kalian bisa lepas dari ke-judeg-an dan terhindar dari ke-budeg-an.

Salam.

Melbourne, 12/12/2010

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun