Mohon tunggu...
Paulus Waris Santoso
Paulus Waris Santoso Mohon Tunggu... lainnya -

aku suka pelangi. dia suka memberi rasa. rasa akan hidup yang beraneka warna. warna-warna indah kebijaksanaan. pelangi kebijaksanaan.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

From Sampit with Pecel: Journey of Kuliner di Kalimantan (2)

1 Juli 2010   23:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:09 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_182762" align="alignnone" width="225" caption="ilustrasi dari http://3.bp.blogspot.com"][/caption] Agak aneh rasanya bercerita mengenai pecel dari Sampit-Kalimantan Tengah. Mestinya cerita pecel itu dari Blitar atau Madiun, di mana surganya pecel (setidaknya padan nama warung pecel itu biasanya berbunyi ‘Pecel Asli Blitar’ atau ‘Pecel Pincuk Madiun’). Tetapi inilah yang hendak saya bagikan, With Pecel dari Sampit, boleh dibaca with love from Sampit. Sejumput cinta yang saya temukan di sana, saya bagi di sini.

Kota wallet

Sekitar pukul 12.30 pesawat Merpati yang saya tumpangi mendarat. Karena saya hanya membawa satu tas ransel, hasil pinjaman, saya bisa langsung menuju pintu keluar. Di beranda depan, adik saya sudah menunggu. Kulitnya semakin gelap, tipikal pemuda perkebunan. Begitu bertemu kami langsung baku peluk. Setelah ngobrol sejenak kami langsung menuju parkiran motor dan meluncur menuju tempat peristirahatannya. Setelah berputar-putar sekitar 40 menit kami sampai juga, bukan di rumahnya, tetapi di rumah bossnya. Kebetulan bossnya sedang ke luar kota maka kami bisa beristirahat di sana malam itu.

Tidak banyak yang saya ketahui mengenai kota Sampit. Hal pertama yang saya ingat adalah kerusuhan beberapa tahun silam. Selain itu, dari adik saya, saya tahu bahwa sekarang mulai berkembang perkebunan kelapa sawit. Perkebunan dan pabrik-pabrik pengolah sawitlah yang sekarang mendukung pendapatan kota ini. Selebihnya saya tidak tahu banyak.

Bekas kerusuhan memang tidak saya temukan, yang saya lihat adalah bangunan-bangunan yang bagian atasnya penuh dengan lubang. Hampir semua bangunan yang memiliki tinggi lebih dari 3 tingkat, bagian atasnya pasti penuh dengan lobang. Sempat saya bayangkan seperti bekas tembakan meriam. Mungkin terlalu berlebihan. Tetapi ada yang aneh, bagian bawah rapi dan ramai karena digunakan sebagai tempat usaha, tapi bagian atasnya begitu berantakan. Selain itu suara bising cicicuwit burung juga memenuhi kota. Ternyata lobang-lobang itu adalah pintu masuk bagi sekawanan wallet.

“Kota ini pusat wallet Sam,” kata adik saya menjawab keraguan saya.

Ternyata bangunan bagian atas itu adalah rumah wallet, maka tidak mengherankan kalau keadaannya begitu berantakan. Yang mengherankan bagi saya adalah, kok mereka tidak terganggu dengan banyaknya aktivitas di bawah. Ke manapun wallet itu pergi mencari makan, pasti pulangnya ke situ juga. Maka penduduk kota Sampit banyak yang membangun bagian atas rumahnya sebagai tempat tinggal wallet.

Pecel

Inilah yang hendak saya ceritakan dari awal, pecel from Sampit. Setelah istirahat sejenak sekitar 30 menit, adik saya mengajak mencari makan.

“Golek pecel yo Sam”, ajaknya.

Saya langsung mengiyakan, lha sudah lapar. Dalam hati sempat berpikir, ‘jauh-jauh ke Sampit kok yo cari pecel’. Teringat kejadian sekita 6 tahun lalu, ketika kami keluyuran bersembilan ke Jogja sehabis kaul kekal. Yang kami santap ya hanya pecel lele, hingga Tinto, nama satu sahabat marah-marah, “jauh-jauh ke Jogja hanya makan pecel lele.”

Ternyata bagi adik saya, pecel adalah menu istimewa. Setelah berhari-hari, atau bahkan berminggu dan bisa jadi berbulan-bulan terkurung di tengah kebun sawit yang jauh dari mana-mana, menikmati nasi pecel adalah sebuah kemewahan. Bisa mengobati, bukan hanya rasa sepi dan jenuh di perkebunan, tetapi juga bisa menghadirkan suasana kampung halaman untuk menghilangkan kangen. Pecel hadir bukan lagi sekadar pecel, tetapi sebuah pemenuhan akan kenangan, akan harapan. Tetapi saya hendak menikmati pecel sebagai pecel.

Jangan membayangkan sebungkus pecel pincuk Madiun atau pecel Karangsari asli Blitar. Pecel asli Sampit beda banget. Siang itu kami menuju warung yang katanya langganannya. Tapi agak sial, warungnya tutup. Maklum masih tahun baruan. Maka kami meluncur ke pasar, mencari makan di kaki lima yang banyak bertebaran di sana.

“Iwaknya apa Bang,” kata Mbak penjualnya.

“Ayam saja.” Jawab adik saya. Sementara itu saya tak henti-hentinya memperhatikan kondisi pasar. Bangunan-bangunan yang bagian atasnya penuh dengan lubang-lubang. Lapak-lapak pencual vcd juga tak kalah banyaknya. Yang sekali lagi mengejutkan adalah, banyaknya vcd-vcd campursari beredar.

“Sam, Sampit itu 80% penduduknya pendatang, kebanyakan dari Jawa,” kata adik saya menjelaskan ketika saya tanya kenapa banyak orang jual vcd campursari.

Akhirnya lima bungkus nasi pecel itu telah selesai. Segera kami meluncur ke pondokan. Perut ini sudah lapar bener, mungkin cacing-cacing ini sudah menggelepar-gelepar lapar. Saya ingin segera membuka bungkusan pecel itu. Bukan hanya karena sudah sangat lapar, tetapi juga ingin tahu istimewanya pecel Sampit. Ternyata ya biasa saja, ada sayurnya, ada sedikit sambal kacang, kemudian ada tahu goreng satu, sambel goreng tempe, ayam, dan sambal bajak.

Bagi saya agak aneh, karena nasi pecel itu disebut pecel karena unsur sambel pecelnya. Tetapi ini sambel pecelnya sedikit banget, yang banyak malah sambel bajak alias sambal tomat. Rasa pecelnya sebenarnya tidak begitu menggigit, yang lebih nendang adalah sambel bajaknya. Maka nasi pecel ini mirip ayam lalapan. Tapi itu semua tidak menjadi soal. Mau nasi pecel atau ayam lalap yang penting enak, yang pasti kenyang.

Saudara

Nikmatnya pecel atau apa tadi namanya, sebenarnya tercipta karena hati saya yang sedang berbunga-bunga. Pertemuan saya dengan Dwi, nama adik saya memang membahagiakan. Terakhir bertemu ketika dia pulang kampung 4 tahun lalu. Itu pun hanya sebentar. Adik saya ini tidak pernah tinggal serumah dengan. Ketika dia berusia 7 bulan, ia sudah diadopsi PakDe saya. Sebab mereka tidak memiliki anak.

Meski secara hukum dia menjadi kakak saya, tetapi tetap saya anggap sebagai adik. Dia pun tetap memanggil saya kakak. Kami memang hanya sebentar tinggal serumah, tetapi kami sungguh saudara. Karena berasal dari satu darah dan satu payudara. Maka kebersamaan yang tercipta sungguh membahagiakan.

Ya, saudara itu berarti satu darah dan satu payudara. Kami berasal dari darah yang sama. Kami pernah tumbuh dari payudara yang sama. Maka ketika sudah lama terpisah, tidak pernah sungguh-sungguh tinggal serumah, pertemuan sungguh membahagiakan.

Tidak semua saudara bisa hidup menyenangkan. Ada saudara yang hidupnya selalu diwarnai pertengkaran. Namun hidup yang menyenangkan sesungguhnya hanya hidup sebagai saudara. Tidak ada yang lebih hebat, tidak ada yang lebih kuat. Karena semua memiliki derajat yang setingkat.

Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya hidup bersama sebagai saudara. Seperti minyah harum yang melumuri rambut yang indah. Seperti embun yang menyelimuti rerumputan. Seperti rahmat Tuhan yang terus tercurah. Itulah nikmatnya hidup sebagai saudara. Bahkan ketika tidak berasal dari satu darah dan payudara yang sama. Hidup sebagai saudara sungguh menyenangkan.

(bersambung)

Sebelumnya : Awal Perjalanan

Selanjutnya : Journey

Catatan:

Sam : Sapaan khas Malang untuk menyebut kakak/saudara/teman. Dari kata Mas, kemudian dibalik. Salah satu cirri khas orang Malang, menggunakan bahasa walikan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun