Mohon tunggu...
Paulus Waris Santoso
Paulus Waris Santoso Mohon Tunggu... lainnya -

aku suka pelangi. dia suka memberi rasa. rasa akan hidup yang beraneka warna. warna-warna indah kebijaksanaan. pelangi kebijaksanaan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dilarang Buka Mulut (Lebar-lebar)

22 Mei 2010   02:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:03 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_147128" align="alignleft" width="251" caption="foto dok.pri"][/caption] Kemarin saya mengurus surat ijin untuk bekerja dengan anak-anak (Work With Children Check - WWC). Sertifikat ini mesti saya miliki kalau area pekerjaan saya juga bersentuhan dengan anak-anak. Peraturan ini ditetapkan di seluruh Australia. Saya tidak tahu di Negara lain, apakah juga mengharuskan warganya memiliki surat sertifikat semacam ini untuk pekerjaan yang bersentuhan dengan anak-anak. Saya tidak ingin membahas kegunaan kartu sertifikat ini, tetapi proses pengambilan foto untuk dilekatkan pada sertifikat tersebut, mirip dengan foto untuk passport atau SIM, yang hendak saya ceritakan.

Untuk mengurus WWC, saya cukup pergi ke kantor post terdekat dan mengisi formulir yang disiapkan. Setelah mengisi formulir, saya memberikan foto yang diminta. Ternyata foto yang saya berikan ukurannya terlalu kecil. Padahal saya sudah bersusah payah memfoto wajah saya sendiri.

Akhirnya saya memilih untuk berfoto di sana dengan membayar sejumlah uang. Setelah berfoto dengan sistim 1 menit selesai, saya kembali menemui petugas kantor post untuk menyelesaikan proses terakhir pengurusan sertifikat WWC. Baru saja saya menyiapkan diri untuk menandatangai dokumen, petugas tersebut memberi tahu bahwa saya mesti berfoto ulang.

“Kamu mesti berfoto lagi, tidak usah bayar. Foto ini tidak bisa digunakan, karena mulutmu terbuka. Kamu harus berfoto lagi dan tidak boleh buka mulut.”

Spontan saya ingin tertawa. Tetapi saya diam saja. Dalam hati saya membatin, ‘biasanya kalau mau memfoto seseorang saya minta mereka tersenyum bahkan tertawa, eee di sini malah dilarang tersenyum.’

Antara Mulut dan Telinga

Larangan untuk membuka mulut sembarangan kiranya memiliki alasan. Mulut yang terbuka mungkin menyiratkan ketidak sungguhan, kekurangseriusan. Saya tidak yakin benar dengan ini, karena saya hanya menduga-duga. Tetapi baik juga merenungkan mulut yang terbuka, apalagi jika dikaitkan dengan telinga yang terbuka.

Pengalaman kecil saya di atas mengingatkan lagi akan pertanyaan lama, mengapa manusia hanya memiliki satu mulut, padahal ia memiliki dua telinga? Jawaban yang diberikan kaum bijaksana biasanya begini: agar manusia lebih banyak mendengarkan dari pada berbicara. Menurut saya, ini jawaban yang tepat sekali.

Persoalannya adalah, manusia ingin dikenal, diakui, dinilai keberadaannya. Maka, mereka bersuara, bahkan berteriak. Dengan anggapan, siapa teriaknya paling keras, dialah yang paling hebat. Siapa gertaknya paling keras, dialah paling berani. Imbasnya jelas buruk sekali. Dalam banyak pertemuan, juga yang dilakukan oleh para masyarakat terhormat, kemauan untuk mendengarkan tipis sekali, tetapi kemauan untuk berteriak kuat sekali.

Ibu Sri Mulyani dalam kesempatan memberi ‘kuliah’ perpisahan kepada teman-temannya, sempat mengemukakan hal tersebut. Ada anggota dewan yang begitu keras dan lantang bertanya, namun begitu mulai dijawab, beliaunya malah ngeloyor pergi. Sebuah ironi yang menunjukkan kemauan (hanya) untuk berbicara dan keengganan untuk mendengarkan.

Bijaksana

Analogi memiliki 2 telinga dan satu mulut masih bisa dikembangkan lagi. Misalnya, mengapa manusia memiliki dua mata, dua lubang hidung, dua lubang telinga, dua lengan tangan, dua tungkai kaki, dan hanya satu mulut? Jawaban yang diberikan bisa sebanding satu sama lain. Misalnya, agar manusia lebih banyak melihat, lebih banyak ‘mengendus’ (mengidentifikasi), membuka sumber-sumber, menjejak bumi, sebelum berkata-kata.

Menjadi bijaksana. Itulah kira-kira pesan yang saya dapatkan dari beberapa pertanyaan yang saya lontarkan sendiri di atas. Dengan banyak mendengar informasi, melihat banyak data dan fakta, banyak ‘mengendus’ berita dan bukti-bukti, banyak membuka referensi dan rujukan, serta kaki masih berpijak kuat pada kebenaran, maka diharapkan kita bisa menyampaikan sesuatu yang benar.

Langkah tersebut terbaca ribet dan terlampau lama. Tetapi itu sebuah keniscayaan agar kita tidak jatuh dalam keterburu-buran dan kesembronoan. Terlalu cepat berbicara sebelum melihat banyak dan mendegar banyak akan sangat berbahaya. Apalagi jika tanpa didasari pencarian data yang kuat dan kaki tidak berpijak sangat kuat kepada kebenaran, akan bisa membawa celaka.

Penutup

Membuka mulut sembarangan sangatlah berbahaya. Maka sikap berhati-hati dalam menggunakan mulut akan banyak faedahnya. Berbicara saja tanda didasari fakta dan data, akan banyak membuat hati terluka. Maka hari ini, sebelum kita membuka mulut, mari bepikir sejenak, apakah yang akan keluar sesuatu yang membangun atau yang menghancurkan. Janganlah sembarangan membuka mulut. Apalagi kalau belum menggosok gigi.

Salam,

Melbourne, 22-05-2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun