Mohon tunggu...
Paulus Waris Santoso
Paulus Waris Santoso Mohon Tunggu... lainnya -

aku suka pelangi. dia suka memberi rasa. rasa akan hidup yang beraneka warna. warna-warna indah kebijaksanaan. pelangi kebijaksanaan.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Berpisah: Journey of Kuliner di Kalimantan (5)

5 Juli 2010   02:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:05 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_185442" align="alignleft" width="300" caption="ilustrasi diunduh dari http://bijakfajar.files.wordpress.com"][/caption]

Hidup itu seperti sebuah persinggahan dalam perjalanan yang panjang. Bahkan hanya sekadar singgah untuk meminta minum. Jika kesempatan singgah yang tidak lama itu bisa diisi dengan sesuatu yang menyenangkan, maka waktu terasa sangat cepat membawa suka sirna. Sebaliknya jika persinggahan itu diisi dengan sesuatu yang menyedihkan, seolah putaran kala itu begitu lama berbalut derita.

Saya menginap dua malam di messnya Dwi. Rasanya masih ingin berlama-lama, namun langkah kaki mesti melangkah ke tempat lain. Hari ketiga, ketika hari masih pagi, kami sudah meluncur ke kecamatan. Harus berangkat pagi untuk mengejar kendaraan yang menuju Palangkaraya.

Palangkaraya bukan tujuan. Ia hanyalah persinggahan. Meski persingghan, bukan berarti ia hadir tanpa makna. Karena kalau mau jujur. Semuanya hanyalah persingghan. Dari satu tempat ke tempat lain. Dari satu hati ke hati yang lain. Semuanya hanya singgah. Jika rasa itu kuat dan lama, bolehlah percaya bahwa persinggahan itu mengesankan. Jika rasa itu menguap bersama lewatnya bayangan. Yakinlah bahwa persinggahan itu tanpa kenangan tajam.

Tujuan petualangan saya sekarang adalah Banjarmasin. Sudah ada keluarga dan sekolah yang menunggu saya di sana. Jam 6.20 kami meninggalkan areal pabrik dan menuju Parenggean. Dwi menjalankan Jupiternya dan saya duduk manis di belakang. Sekali lagi menoleh ke arah pabrik, kea rah perkebunan. Satu tarikan nafas yang dalam. Hutanku telah hilang. Berganti menjadi perkebunan sawit. Dan itu bukan kebunku. Bukan juga kebunmu. Mungkin berbeda cerita kalau bisa kita sebut, itu hutanku. Dan hutanmu juga, sahutmu.

Jam 7 pagi kami sampai di pos travel. Setelah membooking satu kursi untuk saya, kami mencari sarapan pagi. Warung pecel yang kami incar belum buka. Kenapa kami selalu gagal meraih apa yang kami harapkan. Bahkan itu hanya sepiring pecel. Di Sampit tidak. Di Parenggean juga tidak. Terpaksa kami mampir di warung gule Kediri. Pagi-pagi sarapan gule. Tidak masalah.

Saya lupa memberitahu yang empunya warung untuk menghidangkan setengah porsi saja. Akibatnya dihidangkanlah satu porsi besar untuk kami masing-masing. Semangkuk besar gule panas dan setangkup nasi di dalam piring yang bagi saya sangat besar jumlahnya.

Kembali, dengan terengah-engah saya berjuang untuk menghabiskan menu sarapan. Mengingat jalanan kemarin yang saya lalui, di mana saya akan terguncang-guncang, dengan sangat menyesal saya tidak bisa menghabiskan sarapan.

Saya sangat menyesal bukan karena gulenya, tetapi karena masih banyak orang yang belum bisa memperoleh makan. Sungguh saya tidak terbiasa tidak menghabiskan makanan. Tetapi dari pada nanti muntah karena terguncang-guncang. Dan itu akan lebih merepotkan orang banyak. Saya memilih tidak menghabiskan makanan.

Selamat tinggal

Menurut sopir travel, kami mestinya meluncur meninggalkan Parenggean-Sampit menuju Palangkaraya jam 7.30. Tetapi apa mau di kata, seorang calon penumpang masih sibuk hendak menjual ‘amas’. Penumpang lain sudah gelisah, tetapi ibu itu belum kelihatan, mungkin toko amasnya belum buka. Mungkin ibu ini sangat membutuhkan uang hasil penjualan emasnya untuk sebuah keperluan di Palangkaraya.

Memang sangat kurang bijak, bepergian dengan mengandalkan uang hasil berjualan. Namun jika itu menjadi satu-satunya pilihan, pantaslah dihargai. Karena terkadang dan sering bahkan, bekal untuk berjalan itu tidak ada. Bekal itu ditemukan dan dicari di tengah jalan. Tidak kurang menjual apa yang selama ini disimpan sebagai barang terlarang.

Akhirnya jam 7.45 kami mulai meluncur meninggalkan Parenggean. Jalanan yang kemarin saya lalui dengan sepeda motor, di mana saya masih bisa melaju, sekarang kami lalui dengan elf. Terpaksa pelan-pelan. Banyaknya lobang tidak memungkinkan kami melaju dengan kencang.

Perjalanan menuju Palangkaraya memiliki jalan potong. Hal itu tidak mengharuskan kami kembali ke kota Sampit. Kami mulai menyusuri Jalan Tjilik Riwut, jalan yang sangat panjang, mulai dari kabupaten Sampit hingga kota Palangkaraya. Selamat tingal Sampit, Parenggean dan perkebunan. Mungkin aku merindukanmu. Tetapi kerinduan terdalamku adalah, hutanmu. Yang telah hilang dijarah pembalak.

Palangkaraya yang lengang hanya saya singgahi dua jam. Saya tidak sempat mengunjungi saudara dan saudari di sini. Calon gereja di Kasongan, taman doa di Tangkiling hanya bisa saya pandang dari travel. Mungkin di lain kesempatan saya bisa mampir ke sana. Ya mungkin lain kesempatan. Itu sebuah kata pengharapan yan sebenarnya penghiburan. Bahwa masih ada hari esok. Meski belum tentu aku jalani. Setidaknya masih ada hari di depan nanti, entah bersama atau tidak, untuk kembali.

Di Palangkaraya ini saya berpisah dengan adik saya. Entah kapan saya akan berjumpa lagi. Saya pun tidak sempat, atau tidak sanggup lebih tepatnya, menyampaikan pesan yang saya bawa dari rumah. Sebelum berangkat budhe saya titip pesan. Pesan itu sebuah pertanyaan yang mestinya saya sampaikan kepadanya. Soal hari pernikahannya. Kapan.

Saya tidak sanggup menanyakan itu. Karena menyadari menikah bukanlah soal yang gampang. Bukan soal memilih pasangan, seperti halnya ganti sepeda motor baru. Apalagi kalau pilihan tidak terlalu banyak. Hidup di pabrik di tengah perkebunan yang jauh dari mana-mana. Mungkin ada pilihan, tetapi belum tentu mau dibawa ke tengah hutan. Itu pertama.

Menikah bukan sekadar bertemunya pria dan wanita dan kemudian mengikat janji. Karena diikatnya sebuah janji di atas Kitab Suci hanyalah permulaan. Tatkala sepasang mempelai melambai bahagia kepada khalayak, itulah saat mereka memasuki labirin gelap hidup rumah tangga. Itu kedua.

Cerita percintaan yang kerap menggambarkan petualangan pangeran kodok dan putri raja, di mana akhirnya mereka menikah serta hidup bahagia selama-lamanya, adalah dongeng. Dan memang hanya ada di dalam dongeng. Karena yang kerap terjadi, yang kekal selama-lamanya hanyalah pertengkaran, selisih paham.

Memang terlalu naïf kalau mengatakan pernikahan hanya berisi pertengkaran. Dan itu pasti tidak benar sama sekali. Masih banyak dan tentu banyak sekali pernikahan yang terus dibubuhi kasih abadi sepanjang jaman. Tentu itu indah sekali dan mestinya begitu. Nyatanya tidak selalu begitu. Ini yang ketiga.

Kok aku malah ngelantur mengenai pernikahan. Sebenarnya aku hendak pamitan kepada adikku. Aku memiliki titipan pesan mengenai pernikahan. Tetapi biarlah itu menjadi pilihan bebasnya, kapan dan dengan siapa. Dia yang semula tidak berencana mengantar aku ke Palangkaraya, akhirnya tidak tega. Ia ikut mengantar aku ke Palangkaraya.

Tiga hari dua malam bersamanya sungguh meninggalkan kesan yang mendalam. Kami tidak pernah sungguh tinggal bersama-sama. Dia tumbuh dalam keluarga yang berbeda, meski kerap berjumpa. Namun bersama-sama tatkala sudah sama-sama dewasa tetap meninggalkan arti yang tidak sama.

Setelah aku mendapatkan travel yang akan mengantar ke Banjarmasin, dia kembali ke Sampit. Melihatnya melangkah pergi menuju mobil yang akan membawanya kembali, sebaris doa yang terucap, “Dik, Tuhan memberkati engkau. Jika saatnya tiba, semua akan indah pada waktunya.”

Tuhan merencanakan yang terbaik, sedang manusia mengupayakannya. Jodoh memang mesti diperjuangkan, dan dimintakan restu dari Tuhan. Demikian halnya pekerjaan dan kehidupan. Jika tiap ayunan langkah senantiasa dipersembahkan kepada Tuhan, tentu semuanya akan indah.

Hari itu saya berpisah dengan adik saya di Palangkaraya. Tiga bulan kemudian dia juga meninggalkan Sampit untuk berpindah kerja di Banjarmasin, hingga sekarang.

(bersambung)

Sebelumnya : Ini Bujangan Sam!

Sesudahnya : Jalan Panjang

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun