Si tengil dari Malang Selatan itu ternyata memutuskan ikut padepokan Karmel di Batu Malang. “Di sana menawarkan persaudaraan.” Katanya singkat ketika ditanya mengapa ia memilih padepokan Karmel yang waktu itu masih penuh dengan kebun apel. Rupanya si tengil itu sadar diri bahwa ia butuh orang lain untuk mengingatkan, untuk menariknya jika tersesat di jalan lain.
Agustus 1996 ia memasuki padepokan Karmel di Jalan Hasanudin 13 Batu. Sergapan udara dingin yang meluncur turun dari gunung Panderman sempat membuat badannya dikuasai gatal-gatal. Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, gatal-gatal karena dingin itu selalu datang ketika musim hujan dan dingin menghajar bumi.
Dua tahun si tengil berada di padepokan Karmel Batu. Tiba saatnya untuk menentukan pilihan lagi. Dengan penuh percaya diri, 09 Agustus 1998 ia bersama 13 teman seperjuangannya berikrar setia untuk hidup di jalan Karmel untuk satu tahun. Demikian janji itu mereka perbaharui setiap tahun. Selepas janji manis di hadapan Tuhan itu mereka mendapat kesempatan berlibur ke rumah orang tua. 10 hari waktu diberikan untuk menebus kangen selama dua tahun.
Tanpa terasa guliran waktu yang tak pernah kompromi itu sampai pada titik 2001. Selesai menamatkan pendidikan strata satu, mereka mesti menjalani tahun pastoral. Si tengil dari Malang selatan itu mendapat kesempatan berpastoral di Paroki Tanggul Jember. Bersama utusan Tuhan yang dulu membaptisnya itu, ia belajar hidup di paroki.
Pengalaman pertama hidup di paroki adalah di demo. Yang mendemo adalah kelompok dari padepokan lain yang tidak menghendaki mereka berdoa di padepokan itu. Para pendemo itu datang dengan truk penuh ancaman. Permintaan mereka hanya satu, “Pokoknya ditutup!” Itu permintaan mereka atas padepokan kami. Karena mereka terus mengancam dan sepertinya mereka akan mulai kalap, maka kami menuruti untuk menandatangani pernyataan untuk tidak memakai padepokan tersebut untuk berdoa. Itu terjadi pada akhir bulan Oktober tahun 2001. Tiga bulan semenjak ia tinggal di sana.
Setahun masa berpastoral terasa cepat. Lelehan air mata sempat mengiringi kepergian si tengil dari Tanggul untuk kembali ke Malang, melanjutkan belajar. Tepat setahun setelah kembali ke Malang, adalah saat untuk menentukan mau hidup selamanya dalam padepokan Karmel atau tidak. Karena jika dihitung dari tahun 1996 dia masuk, sudah 7 tahun ia hidup sebagai karmelit, dan saatnya memutuskan.
Keputusan ia ambil, hidup dalam Karmel pilihannya. Maka 15 Agustus 2003 di Gereja kayutangan, di hadapan provincial Pak Na, ia berserah setia mau taat, miskin, dan selibat, selamanya. Tidak ada cincin melingkar di jari, tetapi ia suda terikat. Tidak ada kemeriahan resepsi, tapi ia sudah bermempelai.
…&&&…
Jalan yang bak jalan tol itu tiba-tiba memasuki lahan bermakadam. Tiba-tiba banyak kerikil menghampar di jalan. Februari 2004 adalah jadwal untuk menjadi diakon, tetapi bocah Malang Selatan ini mulai ragu. Ia mulai berpikir akan kemudaannya, akan berbagai tanggungjawab yang mesti diemban nanti, dan ada banyak pertimbangan lain yang membuat dia berpikir ulang.
“Saya ini seumpama kereta kuda yang menempuh perjalanan baik. Selama ini memang tidak ada apa-apa. Namun saya membutuhkan waktu untuk istirahat, untuk ngecek segala perlengkapan yang ada. Apakah roda-rodanya masih utuh, apakah kuda-kuda masih kuat, apakah tali kekang masih cantang, dan perlengkapan yang lain masih komplit.”
Itu alasannya mengapa ia meminta waktu tambahan. Waktu diberikan selama enam putaran purnama. Ketika ditanya lagi mengapa ia bertahan, dia hanya menjawab, ‘ternyata cinta yang menguatkan.’November 2004 ia akhirnya menerima tugas sebagai pelayan. Di kapel sederhana biara karmel Talang lima, disaksikan keluarga dekat, ia dan tiga teman menerima tahbisan diakon. Selepas diakon ia belajar melayani di paroki Tidar sambil tetap mengajar di SMA, tempat ia mulai bekerja sejak setahun yang lalu.
Putaran waktu telah membawanya ke tahun 2005. Sudah 13 tahun lamanya semenjak dia meninggalkan kampung tercinta. Sudah 13 kali ia tidak lagi merayakan ulang tahun di rumah bersama kawan-kawan sepermainan. Begitu cepat waktu berputar dan berpusar. Kerap membuat hati berdegup berdesir, tak jarang gemetar.
Akhirnya hari itu tiba. Sore hari di Katedral Maria Bunda Karmel Malang. Mengenakan jubah coklat lengkap, ia berjalan mantap dari Biara Karmel di jalan Talang menuju Gereja Ijen. Sudah seminggu ini dia mengurung diri di kamar. Ia hanya keluar kamar untuk mengajar, sehabis itu ia kembali lagi ke kamar. Mestinya harus sungguh mengurung diri yang tidak berjumpa dengan orang lain, tapi karena tugas hal itu tidak mungkin terlaksana. Di sela-sela merenung dalam kesendirian, Padi menemani. Kebetulan ia baru saja mengeluarkan album baru yang self title.
Ya, akhirnya sore itu di hadapan teman-teman seperguruan dan dari perguruan yang lain yang sempat hadir, bapak Uskup Malang menahbiskan mereka berempat menjadi utusan-Nya. Ia yang dulu dibakar cemburu dan masih bertahan karena cinta, kini mesti berbuat, karena cinta tidak hanya diam.
“Cinta itu seperti batuk. Kalau datang tidak bisa ditutup-tutupi.” Demikian ia berkata dalam sambutannya. Dalam permenungannya, tidak ada orang yang bisa menyembunyikan batuk. Demikian halnya tidak ada orang yang bisa menyembunyikan cinta. Karena cinta Tuhan maka ia bisa berdiri di sana, berbicara di sana, karena cinta tidak hanya diam, maka dia mesti berbuat. Dia mesti juga menjadi sang penghibur bagi hati yang sedang terluka. (bersambung)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI