Kawan, awalnya memang terbakar cemburu. Bahkan seperti yang dinyanyikan Padi, ini cemburu buta yang membakar bukan hanya jiwa tetapi juga raga. Kalau sekarang mesti mencari luruhan abu sisa pembakaran itu mungkin tidak akan pernah bertemu kembali. Sekian puluh tahun yang lalu, terkubur bersama hasrat masa kanak-kanak.
Cemburu itu kepada para utusan Tuhan yang tidak pernah rutin datang ke kampung kami. Gelegak dahaga hati kami untuk dekat Sang Pencipta hanya mampu terobati sekali dalam satu putaran purnama. Selebihnya para tetua umat memimpin upacara penyembahan kepada Sang Pencipta dengan sederhana.
Pernah terlontar tanya dari hatinya, kenapa para utusan Tuhan itu tidak bisa datang setiap ahad, mengapa mesti hanya sekali dalam satu putaran purnama? Ternyata jawabannya sederhana. Utusan Tuhan itu hanya seorang sedang dia mesti melayani berpuluh-puluh ladang. Maka tak mengherankan jika tidak petak ladang mesti sabar men unggu giliran disinggahi sang utusan.
Hati itu belum mau menerima kenyataan bahwasanya hanya ada satu utusan. Mengapa mereka tidak diberi lebih banyak utusan. Pertanyaan itu memantik api cemburu dalam hatinya, yang makin hari makin berkobar. Mula-mula hanya hati yang terbakar, lambat laun mengalir hingga ujung kuku pun terbakar habis.
Akhirnya jalan itu ia tempuh. Tidak mudah memang, tetapi tidak pernah terbersit keinginan untuk mundur dan memalingkan langkah. Kerikil dan riak terkadang menggoda langkah kaki. Gelegak dan hasrat hati untuk hidup seperti kebanyakan orang juga beberapa kali datang menghampiri. Toh kesimpulan yang diambil adalah kembali mengayunkan langkah di jalan panggilan.
…$$$...
Langkah awal itu ia mulai tahun 1992. Sebagai remaja yang ingin menatap indahnya kota, yang terbakar habis rasa cemburu, datang menemui utusan Tuhan di kediamannya. Datang untuk meminta formulir pendaftaran memasuki padepokan para utusan Tuhan. Dasar anak kampung yang bebal danbertelinga tebal. Sudah ditolak oleh utusan Tuhan masih saja ngeyel dan ngoto untuk masuk.
Utusan Tuhan itu kiranya sungguh-sungguh utusan Tuhan. Ia tidak mau membawa surat lamaran untuk si bocah nekat. “Opo romone kurang penggawean” demikian dikatakan sang utusan. Akhirnya dengan langkah yang tetap gagah, si bocah tengil itu menyeret lengan bapaknya untuk mencari alamat padepokan dan menemukannya. Setelah melewati beberapa terminal dan bertanya kepada beberapa sopir, akhirnya padepokan “Seminarium Marianum” itu mereka temukan juga.
Ternyata langkah awal itu belum meninggalkan kesulitan. Satu putaran purnama berikutnya mereka mesti mencari tempat untuk mengikuti pendadaran. Meski yang mendaftar hanya 13 bocah, toh mesti melewati pendadaran juga. Padepokan untuk pelaksanaan pendadaran itu ada di kaki gunung Arjuno dengan nama yang membuat bulu kuduk berdiri, ‘Gapuraning Swargo’.
Setelah lulus pendadaran, pendidikan di padepokan Marianum pun berjalan bak roda kereta. Masa empat tahun serasa empat purnama. Begitu cepat dan tiba saatnya menentukan pilihan. Pilihan untuk melanjutkan pada jenjang yang ebih tinggi, yang lebih khusus. Rupanya para utusan Tuhan itu terbagi dalam banyak kelompok. Masing-masing kelompok memiliki memiliki cirri khas dan padepokan yang terpisah. (bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H