[caption id="attachment_62810" align="alignleft" width="225" caption="korban gigitan (foto koleksi pribadi)"][/caption] Ini kisah mengenai kehebohan di taman belakang, kemarin pagi. Teman saya tangannya terluka. Maksudnya baik, melerai anjingnya yang sedang berantem. Bukannya membuat damai, tangannya malah terkena beberapa gigitan.
Anjing yang biasanya lucu dan sangat menurut ternyata bisa lupa diri. Ia lupa atau tidak tahu bahwa yang melerai itu majikannya. Mungkin ia mengetahui bahwa yang melerai itu majikannya, namun ia bisa berpikir lain, “kok tuanku membela lawanku”. Sebaliknya anjing lawan mungkin berpikir, “wow ia dibela tuannya.” Alhasil tangannya mesti diperban. Lebih dari itu ia mesti menanggung demam sepanjang hari.
“Anjing berantem kok dipisah, biarin aja. Ntar juga baik sendiri.” Kata seorang teman memberi komentar. “Anjing berantem itu kaya’ olah raga. Habis itu ya bermain lagi, bermesraan lagi. Maka biarin aja kalau ada anjing berantem.” Sambungnya lagi.
“Kok beda ya dengan manusia,” celetuk seorang kawan. “Kalau ada anak-anak berantem, orangtuanya ikut berantem. Anaknya udah berdamai, orangtuanya masih menyimpan bara dendam. Lucu ya..” selorohnya lagi. Percakapan kami sambil mengobati lengan teman yang terluka tadi menyisakan beberapa pertanyaan di dada.
Kalau manusia berantem enaknya dilerai ndak ya? Kalau dilerai mereka akan melukai kita ndak ya? Kalau mereka berantem, itu sungguhan nggak ya? Jangan-jangan hanya acting belaka, karena tahu disiarkan tivi ke seluruh penjuru nusantara. Trus kalau manusia berantem itu mencari apa ya? Trus enaknya, kita ikut berantem atau menonton saja ya?
“Lho emang ada orang ‘acting’ berantem disiarkan ke seluruh negeri?” celetuk teman saya seolah tahu apa yang ada di dalam dada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H