Senja itu belum sempurna benar. Aku bergegas cepat menyusur tepian pantai, mengejar elok sisa keperkasaan kala. Di ujung langit semburat merah telah nyaris penuh. Rentetan mobil yang melintas West Bridge mulai menyalakan lampunya. Berarak pelan seumpama kunang meninggalkan pekuburan. Menambah semarak meski hanya sejengkal. Segumpal awan melayang memerah pelan-pelan. Indah sekali.
Aku terus berjalan. Menghabiskan sisa pedestrian yang tinggal sekali kelokan. Mataku tertumbuk bayangan. Di ujung sana, di antara tiang-tiang kulihat lelaki muda tengah melepas jumpernya. Hebat sekali dia. Itu pikirku. Udara senja musim dingin sangatlah menusuk. Tapi dia melepas baju hangatnya. Dia meletakkan jumper itu di tanah. Ohhh, dia hendak berdoa. Memakai jumpernya sebagai alas doanya.
Ya Allah, nama-Mu sungguh besar. Berbahagialah mereka yang tidak melupakan Engkau di tengah penuh penat hidupnya. Dimuliakanlah Engkau diantara para pemeluk-Mu yang sujud takzim menyembah-Mu. Nama-Mu sungguh besar mulia.
Saat itu tiba-tiba ingatan membawakuku melayang jauh. Jauh sekali melewati batas waktu dan tempat. Sepuluh tahun yang lalu. Sebulan menjelang bulan puasa. Di sebuah desa di pinggiran kabupaten Jember berbatasan dengan kabupaten Lumajang dan Probolinggo. Jawa Timur sudah agak ke timur. Desa Rawa Tengah kecamatan Sumber Baru.
Adalah tujuh keluarga. Berkumpul hendak memuji Tuhannya. Mereka tidak berkumpul di rumah doa sebagaimana biasa. Hari itu mereka berkumpul di rumah salah satu jemaahnya. Setelah tigapuluh tahun menggunakan rumah doa itu untuk berdoa, mereka mendapatkan protes.
Rumah doa itu belum memiliki IMB. Bagaimana mungkin mereka telah memakainya lebih dari seperempat abad dan ternyata tidak memiliki IMB? Bagaimana mereka bisa mendirikan bangunan itu jika tidak mendapatkan ijin? Rupanya mereka memiliki ijin. Sayang hanya lisan belaka. Bupati Jember waktu itu mengijinkan mereka membangun rumah untuk berdoa. Mereka membangunnya dan menggunakannya. Sekarang ijin itu dipermasalahkan.
Mereka harus berdoa. Mereka berdoa bersama. Ketika mereka tidak bisa lagi menggunakan rumah doa, mereka menggunakan rumah tinggal. Sayang sekali bahwa itu juga dilarang. Atas nama undang-undang. Bahkan ketika berdoapun tidak semudah yang dibayangkan. Sangat sangat lebih mudah untuk tidak berdoa.
Hari itu mereka berkumpul. Berkumpul hendak berdoa. Siang agak terik. Udara musim kemarau telah menghamburkan debu. Hanya saja, siang itu lebih banyak debu yang terbang. Seperti hendak meninggalkan ketakutan. Debu-debu itu terbang seperti dihempas. Tepat di saat orang-orang itu hendak berdoa. Melepaskan segala beban hati untuk diserahkan kepada yang ilahi. Saat itu, dari balik debu muncullah sosok-sosok gagak.
Sosok-sosok gagah. Menjadi lebih gagah dengan celurit terhunus. Beberapa yang dituakan berjalan di depan. Ada kepala desa. Ada perangkat desa. Selebihnya bersorban hitam. Berjenggot panjang. Bercelurit panjang. Tujuh keluarga itu menarik nafas, tidak bisa panjang. Aku ada di sana. Aku juga dituakan. Aku memakai jubbah panjang. Aku duduk di depan, bertatapan pandang dengan semua pendatang.
Kegiatan doa ini harus dihentikan. Berdasarkan undang-undang, tidak pernah diperbolehkan rumah tinggal digunakan sebagai tempat untuk berdoa. Itu kata mereka. Aku sedikit terhenyak dan bertanya sontak. Jahatkah menggunakan rumah tinggal untuk berdoa. Jahatkah ketika kami berkumpul untuk sekadar memuji Tuhan kami? Mereka tidak menjawab. Mereka mengajukan perintah. Kegiatan doa itu harus dihentikan. Atas nama undang-undang dan demi ketentraman masyarakat.
Atas nama undang-undang dan menjaga ketentraman masyarakat. Itu kata mereka. Aku kembali bertanya. Apakah kejahatan yang kami buat? Siapakah yang kami rugikan dengan kami berdoa? Karena kami tidak menimbulkan kebisingan. Karena kami berdoa dalam hening. Kami juga tidak menimbulkan kemacetan, karena kami hanya berjalan kaki. Demi tegaknya undang-undang, maka kami tidak boleh berdoa. Aku masih hendak bertanya, ke mana perginya undang-undang yang pernah menjamin kami untuk berdoa? Aku tidak jadi bertanya karena seseorang mengeluarkan petasan. Katanya rumah itu tidak menghabiskan petasan dua.
Yang agak muda berbicara. Sedari tadi dia duduk sambil memandangku. Matanya tajam, seperti burung yang kerap aku lihat di layar televisi. Badannya kekar dan gagah, janggutnya panjang dan jarang. Suaranya rupanya juga gagah meski sedikit pecah. Dia yang paling muda rasa-rasanya. Dia mengatakan atas nama teman-teman orang muda. Yang katanya ada ratusan orang. Yang katanya sekarang ini telah berkumpul di balai kecamatan dan siap menghentikan upaya kami berdoa. Aku diam. Memandangnya dengan diam.
Kepala desa akhirnya berbicara. Dia meminta kami menghentikan doa. Dia tidak ingin ada keributan. Aku terkejut. Karena kami tidak pernah berpikir soal keribuatan. Apalagi merencanakan keributan. Kami berkumpul, tujuh keluarga, hanya hendak berdoa. Memuji Tuhan kami dengan cara berkumpul bersama. Terkadang ada nyanyian. Itupun pelan. Kami juga tidak membawa celurit. Kami juga tidak membawa mercon. Bagaimana kami akan menciptakan keributan? Rupanya aktivitas doa kami dianggap menggangu, karena kami melanggar undang-undang. Rupanya undang-undang telah berdiri lebih tinggi dari Tuhan.
Aku masih ingin bertanya. Mengapa kami tidak boleh berdoa. Tetapi bibir ini merapat ketika lelaki bersorban bicara seperti mencegat. Kami ini sudah sangat toleran. Katanya dengan emosi yang sangat jelas terasa. Lihatlah anak buah Oom Sam yang menembaki orang-orang di Afgan. Bukankah sudah sangat toleran kalau kami masih membiarkan kalian hidup. Sejujurnya aku tercekat. Hati dan pikiranku ngadat. Segala akal sehat seperti tersumbat.
Aku pandang mereka satu persatu. Aku membatin setelah akal sehatku kembali menggelinding. Mereka berpikir kami sekutu Oom Sam. Dilihat dari manapun itu lucu. Bagaimana mungkin orang-orang kampung ini bisa bersekutu dengan mereka. Apakah karena kami berdoa dan bernyanyi. Sementara orang-orangnya Oom Sam juga berdoa dan bernyanyi. Mereka tidak peduli bahkan kalau lagu yang kami nyanyikan beda. Mereka juga tidak peduli kalau jalan yang kami susur beda. Mereka memang tidak peduli. Karena hanya satu yang mereka pedulikan, kami harus menghentikan doa.
Setengah jam kemudian kerumunan orang itu membubarkan diri. Kami menghentikan kegiatan setelah ancaman-demi ancaman dilontarkan. Mbok Gunawan sudah pingsan sejak 20 menit yang silam demi mendapati kenyataan suaminya akan diculik. Aku yang paling muda meski dituakan. Akupun pulang, membawa segudang tanya dan rasa sesal. Mengapa semua ini bisa terjadi. Aku berharap itu hanya mimpi, aku berharap itu hanya ilusi, aku berharap itu hanya bayangan. Nyatanya semuanya adalah nyata.
Aku terjaga dari lamunan panjang. Bayangan di depanku makin menunjukkan sosoknya yang nyata. Dia berdoa. Dengan takzim dia menunaikan kewajibannya, memuji Tuhannya yang Mahabesar. Tidak ada bedug bertalu-talu. Tidak ada panggilan menderu. Tetapi dia tahu kapan harus berdoa. Dia tidak menemukan Mushola. Mungkin ada, tetapi itu pasti jauh sekali. Maka di sini, di pinggir pantai dia berdoa. Menunaikan kewajibannya kepada yang kuasa. Air mataku meleleh demi melihatnya tenang berdoa.
Pelan dan pasti senja sempurna menyelimuti bumi. Aku melangkah pulang. Pikiranku kembali melayang. Menemui keluarga jauh di pandang. Pasti sudah banyak yang pulang, merayakan Idul Fitri yang sebentar lagi datang. Aku tersenyum senang. Menyadari kenyataan bahwa keluargaku yang beragam. Ada yang ber-Idul Fitri ada yang merayakan Natal. Tetapi kami hidup dengan damai. Aku rindu pulang, membayangkan sajian opor dan ketupat lebaran yang senantiasa terhidang. Selamat menyambut hari kemenangan kawan.
[caption id="attachment_128026" align="alignnone" width="300" caption="lelaki yang berdoa (koleksi pribadi)"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H