Mohon tunggu...
Paulus Waris Santoso
Paulus Waris Santoso Mohon Tunggu... lainnya -

aku suka pelangi. dia suka memberi rasa. rasa akan hidup yang beraneka warna. warna-warna indah kebijaksanaan. pelangi kebijaksanaan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Lelaki yang memandang jendela

18 Agustus 2011   03:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:41 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_126205" align="alignleft" width="300" caption="Jendela di "][/caption] Sudah sejam lelaki itu duduk memandang jendela. Pandangannya lurus menembus sisi jendela gedung sebelah. Seperti ada yang ditunggu. Seseorang keluar dan menyambutnya. Menegurnya. Tetapi tidak ada. Dia tetap duduk terpekur memandang jendela. Jendela yang menghubungkan pandang dengan jendela gedung sebelah.

Tidak ada apa-apa di balik jendela itu. Hanya menghubungkan pandang dengan jendela di gedung sebelah. Gang sempit yang memisahkan kedua jendela itu memberi rasa yang tidak pernah dilewati jejak kaki. Ia sepi. Sesekali mengalirkan aroma sampah yang tertimbun rapi di kotak-kotak yang berjajar rapi di sana. Jendela itu tidak istimewa.

Mungkin ada yang ditunggu lelaki itu di di balik jendela kedua. Seperti penembak rahasia yang mengintai dari jendela lain ke arah jendela lain lagi. Lelaki itu tidak mengintai. Ia memandang. Memandang dengan tatapan penuh. Kalau ia menunggu niscaya ada kegelisahan. Kalau ia berharap niscaya ada nanar. Itu tidak ada. Bahkan mungkin kosong.

Aku menjadi penasaran. Mengapa lelaki itu terus memandang ke luar jendela. Yang sepintas hanyalah menghubungkan ke pandang jendela yang lain. Aku longok sebentar. Hanya sebentar saja. Karena memang tidak ada yang menarik. Kalaupun dipaksa menarik, mungkin coretan di dinding seperti pemuda bermain skateboard. Tetapi itu juga bukan pemuda, bukan anak-anak, apalagi orang tua. Bahkan itu mungkin juga bukan manusia. Hanya memiliki kaki dan tangan yang menandakan dia manusia. Oh, ada juga pusar di perutnya dan sepertinya memiliki kepala. Giginya seperti gigi harimau. Matanya biru dan di atas mata ada gigi lagi. Aku sulit memahami kalau itu manusia.

Apakah coretan di dinding itu yang membuat lelaki itu betah menandang ke luar jendela? Aku tidak tahu. Tetapi aku menjadi lebih penasaran. Aku coba amatai bagian-bagian jendela lain yang dihubungkan oleh jendela di ruangan ini. Jendela di gedung sebelah menunjukkan bagian dari sebuah apartment semi modern. Di sebelah kiri ada pintu yang seolah menghubungkan ruang utama dengan pintu rahasia. Di sebelah kanan ada liukan tangga melingkar yang menghubungkan lantai satu dengan lantai yang lain. Di kaca jendela, di bagian pojok kiri bawah, agak sedikit ke tengah ada stiker larangan merokok di daerah itu.

Ada satu lagi yang mungkin menarik perhatian lelaki itu. Sepasang telfon dan helm. Mungkin bukan telfon, tetapi intercom. Sesuatu yang lumrah dimiliki bangunan-bangunan beruangan banyak. Bentuknya biasa. Warnanya merah menyala. Seperti ingin memudahkan orang yang ingin menggunakannya. Warna merah menjadi menyala karena helm yang tergantung di sebelahnya berwarna kuning metalik. Menyala diterpa sinar lampu dinding yang menyala malas semeter di atas intercom.

Hanya itu yang bisa aku lihat. Tidak ada apa-apa lagi. Tidak ada yang menyejukkan mata. Bahkan pikiranpun tidak menjadi tenang dibuatnya. Semuanya biasa. Biasa dan mati. Tidak ada yang bergerak, tidak ada yang mengalun apalagi memikat indera. Sekali lagi, tidak ada yang menarik sama sekali. Sesuatu yang semakin membuatku bingung, mengapa lelaki itu betah memandang keluar jendela.

Mungkin dia putus asa. Mungkin dia memiliki banyak masalah. Mungkin dia berpikir seandainya bisa melompat keluar dari jendela dan berakhir di kerasnya aspal. Di bawah sana. Jendela itu ada di lantai sepuluh perpustakaan kota. Di ruang baca yang biasanya banyak mahasiswa meluangkan waktu sejenak melepaskan lelah. Bukan dengan membaca, tetapi tidur lelap di bangku yang empuk menggoda. Aku sering juga melakukannya. Hanya sesekali menghabiskan waktu dengan membaca. Tetapi lelaki ini tidak melakukannya. Dia tidak membaca. Juga tidak tidur.

Lelaki ini mungkin ditinggal mati istrinya. Aku amati rambutnya memutih kusut. Warna bajunya biru memudar tanda telah berkali-kali dan lama sekali dimakan detergen. Mengenakan syal penutup leher warna senada. Bercelana gombrong warna pastel. Ada satu tambalan di dekat pantat. Sedikit gambaran usia celana yang tidak muda lagi. Juga sepatunya. Mungkin kaki lelaki itu flat karena bentuk sepatu itu aneh. Sepatu yang dirancang untuk kaki-kaki datar. Kaki-kaki yang mudah lelah jika seharian mesti menopang tubuh. Bentuknya jelek, tetapi nyaman dikenakan. Sepatu itupun sudah tua. Ada sedikit sobekan di dekat jempol kaki. Mungkin lelaki itu ditinggal mati istrinya. Hingga ia bersedih hati. Mungkin ia juga tidak memiliki anak. Sehingga ia sungguh sendiri.

Ia masih di sana. Matanya masih lurus memandang jendela. Sikapnya rapi, meski pakaiannya lusuh. Bahkan telapak kakinyapun tak beranjak. Meski sesenti. Dia duduk tegak seperti patung. Manusia patung yang biasa bermain di seberang jalan. Yang masih bisa bergerak membungkuk mengucapkan terimakasih. Manusia patung yang masih bisa tersenyum. Juga mengerling. Tidak dengan lelaki ini. Ia masih di sana dalam kediamannya. Dalam ketenangan dan mungkin kematiannya. Ia di sana. Memandang jendela dengan teguh.

Aku hampir meninggalkan dia ketika seorang gadis muda cantik menghampirinya. Sangat kontras dengan si lelaki. Gadis ini berpakaian serba rapi. Rambut yang sedikit bergelombang hitam legam terurai sampai pinggang. Mengenakan gaun terusan warna coklat dan sepatu boot hitam yang membungkus kakinya. Lehernya dilingkari syal wool berwarna lembut. Membuatnya tampak manis sekali. Mungkin dia baru berusia 30an.

“Maaf Pa, lama menunggu. Urusannya lama sekali.”

“Ohh tidak apa-apa, aku juga sedang menikmati indahnya pemandangan di luar sana.”

“Oh syukurlah. Papa melihat apa?”

“Ada lelaki muda di seberang jendela. Dia bermain-main dengan anjing kesayangannya. Tetapi ada juga lelaki muda yang murung. Dia sepertinya sedang belajar bermain skateboard tetapi selalu gagal. Sepertinya dia baru gagal bercinta. Minimal hatinya gundah. Seperti merindukan kekasih yang tak kunjung bersua.”

“Oh, kasihan sekali ya Pa lelaki itu. Sudahlah, kita pulang saja. Mama sudah lama menunggu.”

Bapak itu melangkah pergi. Digandeng putrinya yang setelah aku lihat, memang cantik sekali. Aku pergi menghampiri tempat duduk bapak yang putrinya cantik sekali. Mencoba melihat jendela di seberang jendela. Mencoba mencari pemuda yang bermain dengan anjingnya. Mencari pemuda yang sedang belajar bermain skateboard. Mencari pemuda yang gundah hatinya karena gagal bercinta. Aku tidak melihat siapa-siapa. Aku lihat sekeliling. Juga tidak ada sispa-siapa. Aku hanya melihat pantulan wajahku sendiri. Terpampang samar di bening kaca. Pantulan kerut-kerut di keningku, pantulan kusut masai pikiranku. Sialan, lelaki itu melihat aku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun