Mohon tunggu...
Paulus Waris Santoso
Paulus Waris Santoso Mohon Tunggu... lainnya -

aku suka pelangi. dia suka memberi rasa. rasa akan hidup yang beraneka warna. warna-warna indah kebijaksanaan. pelangi kebijaksanaan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kompasianer, kalian adalah garam dunia!

5 Februari 2011   22:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:52 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sahabat, hari ini saya kembali duduk terpekur mendengarkan nasihat sang guru. Tidak mudah memahaminya, namun beruntunglah saya, dia menjabarkan dengan cukup sederhana.

Dia mengatakan bahwa kami, juga saya di dalamnya, hmmm mungkin juga anda, adalah garam dunia. Pengajaran ini adalah bagian kedua dari bagian pengajaran soal hidup bahagia. Ya, bagian yang berkaitan dengan hidup bahagia.

Minggu lalu, guru mengajar prihal hidup bahagia. Ada delapan ajaran mengenai kebahagiaan. Yang jika dikupas satu persatu, menjadi salah satu ajaran mengenai kebahagiaan yang adikodrati. Dan hari ini guru melanjutkan wejangannya dengan mengatakan kami ini adalah garam dunia.

Karena saya sudah lama mengikuti pengajaran sang guru, maka materi mengenai hidup bahagia dan garam dunia ini sebenarnya bukan hal baru lagi. Dulu saya sudah pernah mendengar dan mendiskusikan juga dengan teman kelas. Bahkan banyak dari kami yang membuat skripsi atau tesis mengenai tema tersebut. Menariknya, tema itu seperti sumur tanpa dasar, selalu ada yang baru untuk didalami dan digagas ulang.

Hari ini, sembari duduk mendengar ulasannya mengenai garam, saya mencoba mendaratkan pada garam itu sendiri. Saya tidak pernah menghitung berapa kilo garam yang sudah saya makan, yang larut dalam aneka makanan. Lepas dari makanan yang menjadi gurih karena bergaram, dan hambar tatkala kurang garam, saya kerap menggunakan garam untuk keperluan lain.

Sewaktu mengadakan perkemahan, saya juga menaburkan garam di sekitar tenda agar ular tidak memasuki kemah. Di sini garam berfungsi mengusir ‘si jahat’. Atau juga ketika kawan saya yang suka mencari ikan, mencoba mengawetkannya dengan memberi garam. Ikan menjadi awet meskipun berubah menjadi asin. Luar biasanya, ikan asin ini juga menjadi nikmat. Selain tahan berbulan-bulan, ia tidak memerlukan tambahan untuk menjadikan sepiring ansi hangat lenyap sekejap.

Dari sedikit contoh ini saya mencoba menangkap inti gagasan sang guru yang mengatakan saya ini adalah garam. Maka saya harus bisa memberi rasa enak, menghalangi ‘si jahat’ masuk, dan mengawetkan sesuatu.

Kalau ternyata kehadiran saya, atau kami, tidak memebri rasa gurih, saya sudah kehilangan peran. Kalau kehadiran saya tidak membantu mengawetkan masyarakat atau dunia, saya juga telah kehilangan fungsi dan identitas sebagai garam.

“Kalau garam sudah tidak asin lagi, apakah gunanya? Tidak ada lagi selain dibuang dan diinjak-injak orang.” Itu penegasan guru saya di akhir pengajarannya. Sesuatu yang menohok relung hati. Kalau saya tidak lagi bisa memberi rasa gurih dalam masyarakat, dan tidak membuatnya awet, saya tidak berguna lagi. Saya lebih baik dibuang dan diinjak-injak orang.

Mungkin saya terlalu lurus menangkap ajaran sang guru, tetapi sepertinya memang begitu yang dimaksudkan. Ketika ada teman kelas yang mengangkat tangannya untuk bertanya, guru menunjukkan apa yang pernah dikatakan oleh kakak kelas kami dulu. Kakak kelas kami ini orang yang sangat pintar. Dia dipilih oleh guru menjadi asistennya untuk menghadapi orang-orang yang suka berdebat dan mengandalkan rasio saja.

Kakak kelas saya itu mengatakan demikian kepada kawan-kawan yang mengitarinya dalam suatu sarasehan di kota Kolose. “Hiduplah dengan penuh hikmat terhadap orang-orang luar, pergunakanlah waktu yang ada. Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu, bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang.”

Kakak kelas tadi memberi contoh bahwa fungsi garam harus sungguh dirasakan oleh orang-orang yang hidup dekat. Tentu pertama adalah anggota keluarga, baru mengalir ke lingkungan kanan dan kiri rumah. Dia tidak menarik orang masuk ke dalam kehidupannya, tetapi keluar dan melebur. Garam tidak menariks ayuran masuk, tetapi merasuk ke dalam sayuran. Ia tidak membuat yang disekitarnya menjadi dia, mengikuti apa yang ia buat, tetapi telah mengubah yang ada di sekitarnya menjadi lebih gurih dan tahan lama.

Sahabat kompasianer yang baik. Merenungkan ajaran guru saya ini, saya berani berkata bahwa kita ini juga adalah garam. Kehadiran kita dalam tulisan, harus sungguh memberi rasa gurih dalam hidup, mengawetkan dan bukan membusukkan.

Salam hangat,

Melbourne, 06/02/11

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun