Mohon tunggu...
Paulus Waris Santoso
Paulus Waris Santoso Mohon Tunggu... lainnya -

aku suka pelangi. dia suka memberi rasa. rasa akan hidup yang beraneka warna. warna-warna indah kebijaksanaan. pelangi kebijaksanaan.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Vakansi ke Sydney : 3/ ’The Rock’ Pulang ke Kotamu

11 Januari 2011   21:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:42 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1294779693363303120

[caption id="attachment_82738" align="aligncenter" width="443" caption="salah satu sudut the rocks, museum susannah (foto dok.pri)"][/caption]

Ketika saya membaca kembali catatan saya mengenai ‘the rock’ ingatan saya membawa kepada lagu Yogyakarta karya Kla Project. Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu / Masih seperti dulu / Tiap sudut menyapaku bersahabat / penuh selaksamakna / Terhanyut aku akan nostalgia / saat kita sering luangkan waktu…

Saya tidak sedang berada di Jogja, saya sedang berada di Sydney. Setelah menyebrangi Harbour Bridge dari utara, kita akan sampai di ‘the rock’. Kawasan yang sekarang dilindungi sebagai bagian dari sejarah kota Sydney. Kota tua, demikian kita biasa menyebut kawasan kota yang tetap dipertahankan keadaannya. Bangunan yang tidak dipugar, sebagai sebuah penanda perjalanan kota tersebut.

Keringat masih meleleh. Setangkup es-krim sudah lama habis. Tetapi mulut saya masih ternganga karena terpana. Bangunan-bangunan seperti di perkampungan saya, tembok yang tidak dikapur, antenna tivi yang kuno, berdiri gagah di hadapan saya.

Saya membayangkan Sydney sebagai kota yang penuh dengan bangunan megah, gedung berlantai tinggi yang berloba mencakar langit. Tidak pernah terlintas di benak saya akan menjumpai bangunan kuno, jelek, seperti rumah-rumah di kampung saya.

Rupanya saya memasuki daerah cagar budaya. Bangunan yang dijaga kelestariannya sebagai bagian dari peninggalan budaya. Ada toko perlengkapan rumah tanggaSusannah. Kalau menilik angka tahunnya didirikan pada tahun 1844. Toko itu sekarang menajdi museum. Berdiri persisi di pojokan jalan, papan nama took disandingkan dengan seikat ‘sapu ijuk’, membuat saya bertanya, ‘apa masih ada yang menyapu dengan alat itu?’ Tentu saja barang-barang yang dipajang di sana bukan untuk dijual, karena toko itu telah diubah menajdi museum.

Turun dari sana, terus mengambil jalan ke kiri, kita akan sampai di gedung informasi. Di sana kita akan menemukan beberapa penjelasan mengenai sejarah kota, mulai dari awal kedantangan orang-orang Inggris hingga berubah menjadi kota metropolitan yang super sibuk. Di belakang gedung informasi tersebut, berdampingan dengan rumah makan, berdiri eksotik ‘the rocks discovery museum’.

Berbeda dengan museum-musium pada umumnya yang berdiri megah, musim ini memanfaatkan rumah lama tiga tingkat. Dinding rumahnyapun tidak tersaput, tangga kayu mengantar kita dari lantai satu ke lantai berikutnya. Tidak banyak barang dipajang di sana, namun informasi perkembangan kota dengan manusianya terekam sempurna. Saya menekuri data-data dan benda-benda yang terpampang di sana beberapa saat sebelum melanjutkan langkah ke pelataran pelabuhan.

Saya tidak menyusuri setiap jengkal daerah di kawasan the rocks, karena ada banyak hal yang bisa dicoba di sana. Bagi penggemar kuliner, ada banyal café dan restaurant dengan aneka ragam sajian ada di sana. Juga yang gemar berbelanja, dari sekadar oleh-oleh ataupun barang koleksi siap menguras isi kantong.

Saya melintasi semua, mata saya puas memandangnya. Tentu saja kantong saya tidak memadai untuk menukar isinya dengan barang-barang yang disajikan di sana. Saya hanya berpikir, hebat sekali mereka ini, mempertahankan bangunan-bangunan bersejarah demi nilai budaya dan sejarah kota.

Saya mencoba menghitung, kalau satu bangunan itu diubah menjadi apartemen atau hotel, pasti akan mendatangkan uang yang sangat banyak, karena berada di daerah yang sangat istimewa. Tetapi mereka tetap mempertahankannya. Mereka menjaga agar setiap orang yang datang menemukan jejak perjalanan kota itu. Bahwa yang tua tidak disingkirkan, tetapi dijaga tetap menarik dan berdaya guna, tanpa mengubah wajahnya menjadi lebih muda.

Saya teringat akan satu bangunan di kota Malang – Jawa Timur. Kalau tidak salah gedung itu sekarang telah berdiri kokoh sebagai mall. Bangunan tersebut memiliki nilai sejarah karena pernah dipakai sebagai tempat perundingan di masa revolusi.

Mungkin ingatan saya salah, namun kenyataan bahwa banyak bangunan bersejarah telah diubah wajahnya membuat banyak orang kerap lupa akan keasliannya. Minimal saya, ketika pulang kampung kerap terkaget-kaget akan perubahan yang ada. Tentu saja menggembirakan bahwa kota saya telah berkembang begitu pesat, namun ada perasaan kehilangan karena tidak ada jejak perjalanan kota yang tersisa. Semoga ketika suata saat saya kembali ke kotaku, setangkup haru dalam dekapan rindu akan bersambut merdu. (bersambung)

Salam hangat,

Melbourne, 12/01/11

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun