Mohon tunggu...
Paulus Waris Santoso
Paulus Waris Santoso Mohon Tunggu... lainnya -

aku suka pelangi. dia suka memberi rasa. rasa akan hidup yang beraneka warna. warna-warna indah kebijaksanaan. pelangi kebijaksanaan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tunggu Saja Sebentar!

30 November 2010   10:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:10 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Teman, ada dua peristiwa yang mendorong saya menulis catatan kecil ini. Pertama, perubahan cuaca yang begitu tiba-tiba di tempat saya tinggal. Yang kedua adalah tulisan Mas Arswendo banyak tahun yang lalu mengenai temannya yang suka melihat tayangan prakiraan cuaca.

Tetapi tunggulah sebentar untuk mengetahui mengapa dua alasan itu harus saya kemukakan. Yahhh, harus ada alasan yang memadai untuk mengatakan sesuatu, meski alasan itu harus dibuat(-buat) seolah begitu penting. Maka, jika ternyata alasan itu benar-benar hanya dibuat-buat saja, maafkan saya.

Cuaca

Hari-hari ini Melbourne begitu dingin (bagi saya). Mestinya harus hangat bahkan cenderung panas, karena musim panas hampir tiba. Nyatanya beberapa hari ini kami diguyur hujan dan suhu udara cenderung turun. Ditambah angin yang bertiup kencang seolah ingin meniup jauh-jauh udara hangat yang nyaman untuk berlari telanjang dada di tepian pantai.

Ekstrem! Itu kata pertama yang saya baca di majalah brosur mengenai cuaca kota Melbourne. Waktu itu saya sedang mempersiapkan diri untuk ‘pindah’. Saya sedang mencari sumber informasi sebagai pelengkap data. Suguhan pertama adalah cuaca yang ekstrem.

Hal itu benar adanya dari hari pertama saya tiba. Rentang suhu yang lebih dari 10 derajat dalam sehari adalah sesuatu yang biasa adanya. Seperti siang itu, saya pergi makan siang dengan kawan baru. Pencatat suhu luar mobil menerakan angka 38 derajat. Sebuah tanda bahwa di luar memang panas. Bahkan saya pun merasa panas, melebihi panas kota Jakarta. Selepas makan siang, udara mendadak menjadi dingin, penanda suhu di dalam mobil mencatat angka 23. Wow!

Teman saya berujar, ‘nggak usah kaget, Melbourne itu kota 4 musim dalam satu hari’. Perubahan suhu udara begitu cepat. Pagi cerah, siang berangin dan mendung, tiba-tiba hujan, kemudian cerah lagi, bisa terjadi dalam satu hari. Maka aktivitas setiap pagi sebelum meninggalkan rumah adalah melihat ramalan cuaca. Agar tidak salah kostum di luar sana.

Ketika saya sedikit complain dengan hal ini seorang kawan yang sudah lama tinggal di Melbourne menenangkan hati saya, ‘kalau kamu tidak suka dengan cuaca di Mebourne, tunggulah sebentar saja, ia akan segera berubah’.

Hmmm, saya agak tidak mengerti dengan apa yang dimaksud. Tetapi menjadi sadar dan bisa memahami apa yang dimaui. Kalau kita tidak suka cuaca berangin, tunggulah sesaat saja, ia akan segera reda kembali. Kalau kita tidak suka dengan udara panas menyengat, tunggulah sesaat, ia akan segera dingin kembali. Semua akan cepat berubah, semua akan kembali seperti sedia kala yang kita maui.

Setelah mengerti maksudnya saya balik berkomentar. “Enak ya kalau dalam hidup kita juga bisa mengucap, ‘tunggulah sebentar, nanti juga akan berubah’” Misalnya kita menghadapi beban yang berat, lalu kita bisa berkata, ‘tunggulah sebentar, bersabarlah sejenak, itu akan segera berakhir’. Seandainya semuanya secepat perubahan cuaca di kota Mlebourne ini, pastilah hidup akan menyenangkan.

Prakiraan cuaca

Teman, tadi saya menyebut nama Mas Arswendo di awal tulisan. Banyak tahun yang silam saya membaca tulisan Mas Wendo di sebuah bukunya. Kalau tidak salah berjudul “Khotbah di bawah pohon mangga”. Seandainya salah maafkan saya, karena saya berusaha mengingat buku yang saya baca waktu masih menjadi mahasiswa dulu.

Dalam salah satu kisahnya, dia bercerita mengenai temannya yang suka sekali menyaksikan berita prakiraan cuaca di televisi. Ketika ditanya mengapa suka memerhatikan berita itu, si teman berujar bahwa ia hendak bepergian jauh. Sesuatu yang mustahil sebenarnya, melihat kondisi mereka waktu itu.

Catatan sederhana itu, yang konteks dan manka sebenarnya sudah tidak saya ingat lagi, kembali hadir di ingatan saya. Mengenai kesukaan melihat prakiraan cuaca. Kalau temannya Mas Wendo suka melihat karena ‘akan’ bepergian jauh, saya sekarang suka melihat prakiraan cuaca agar tidak salah kostum. Seperti yang saya catat di atas.

Ramalan cuaca itu kerap tidak seratus persen benar. Hanya saja, ramalan dekat, misalnya apa yang akan terjadi di hari ini, kerap 100% akurat. Badan yang bertugas membuat ramalan ini kerap sudah memprakirakan apa yang akan terjadi jauh di kemudain hari. Meskipun kerap kali harus ia ubah kembali, sesuai dengan data-data baru yang ia temui.

Saya mengingat kembali catatan ini, tepatnya tulisan Mas Wendo itu, karena saya sedang berharap. Harap-harap cemas dalam angan lebih tepatnya, seandainya apa yang akan aku alami sudah bisa diramalkan jauh-jauh hari sebelumnya. Pastilah enak sekali langkah hidup ini. Pastilahs egala kesulitan ini tidak perlu aku alami. Tidak harus banyak mengalami sandungan dan terjerembab dalam lubang-lubang kesesakan. Karena semuanya sudah disampaikan dalam ramalan. Namun yang kerap terjadi adalah gelap. Sulit sekali memprakirakan apa yang akan terjadi esok.

Benarkah demikian? Teman saya mengatakan demikian, ‘kamu harus bijak membaca tanda-tanda kehidupan. Kamu bisa melihat apa yang akan terjadi kalau kamu cukup peka mengenali apa yang terjadi kini untuk mengerti apa yang akan lahir nanti.’

Duhhh, menjadi bijak untuk mengerti tanda-tanda kehidupan ini yang sulit. Karena mengenali yang kasat mata saja kerap susah, apalagi jika tanda-tanda itu muncul dalam sesuatu yang tidak kasat mata. Sesuatu yang bukan hanya dibaca melalui indera, tetapi juga dirasa dengan hati. Semoga teman-teman bisa membantu saya.

Penutup

Teman, kok jadi susah ya apa yang saya tuliskan. Mungkin lebih baik kalau saya berhenti sejenak untuk melihat lebih jauh. Mungkin bersabar sejenak, dengan membiarkan semuanya mengendap lebih dalam, niscaya akan membuahkan sesuatu yang baik. ‘Tunggu saja sebentar’ mungkin menjadi nasihat yang baik untuk mengerti sesuatu dengan lebih jelas. Tergesa-gesa mengambil kesimpulan dan keputusan hanya akan mempersulit keadaan.

Salam

Melbourne, 30/11/2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun