Mohon tunggu...
Paulus Waris Santoso
Paulus Waris Santoso Mohon Tunggu... lainnya -

aku suka pelangi. dia suka memberi rasa. rasa akan hidup yang beraneka warna. warna-warna indah kebijaksanaan. pelangi kebijaksanaan.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Nasi Kuning Banjar: Journey of Kuliner di Kalimantan (9)

9 Juli 2010   05:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:59 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Naik taxi ke Cianjur. Apa lacur, nasi telah menjadi bubur. Jalanglah bersedih hati, meski bubur tetap bisa dinikmati. Dengan sedikit kebesaran hati dan kreatif, bubur tetap nikmat untuk disantap. Setiap peristiwa selalu membawa makna. Kerapkali berpulang kepada kemauan kita mengambil makna di dalamnya.

Jika sekarang ada yang saya sesali, kenapa saya dulu terburu-buru meninggalkan Banjarmasin. Hanya sehari semalam (4-5 Jan 2009) saya tinggal di sana. Terlalu singkat untuk menikmati segala yang ada. Jika ada kesempatan datang menjelang pasti akan saya ulang lebih lama.

Meski singkat, perjumpaan dengan beberapa pribadi di sana sungguh membekas di hati. Demikian pula dengan makanannya. Ada beberapa kuliner yang akan saya bagikan. Sebuah pengalaman baru menyantap makanan baru, khas daerah setempat.

Sudah saya ceritakan makanan pertama yang saya santap di Banjarmasin adalah kepiting saus padang, ca brokoli, dan sup tom yam. Bagaimana gambar yang dipajang tidak sesuai dengan barang yang disajikan. Itu menjadi pengalaman baik untuk belajar. Berikut ini beberapa pengalaman berkuliner dan berpetualang di bumi Banjarmasin selama satu hari.

Secuwil Roti

Saya pernah bercerita mengenai cenil. Makanan kampung halaman yang selalu teringat di hati. Tidak setiap hari bisa saya nikmati. Karena penjualnya hanya datang 5 hari sekali. Segala kekangenan itu mesti dipendam selama 5 hari. Demikian halnya dengan ‘secuwil roti’ yang selalu aku rindukan. Sudah beberapa hari tidak aku santap. Bahkan pada hari Minggu kemarin juga alpa menyantapnya. Bukan karena apa, tetapi karena terlalu lama berada di jalan.

Maka saya berusaha mendapatkan ‘secuil roti’ tersebut. Yang bagi saya adalah makanan rohani penguat jiwa dalam pengembaraan. ‘Secuwil roti’ itu adalah Ekaristi. Maka sebelum berangkat tidur semalam, saya bertanya kepada tuan rumah, misa harian di paroki ini berlangsung jam berapa. Setelah mengetahui bahwa misa harian berlangsung jam 6 pagi, maka saya mengatur diri agar bisa bangun lebih pagi. Sebab jam 6 pagi di sini sama dengan jam 5 pagi waktu Malang, berarti saya harus bisa bangun lebih pagi lagi.

Saya bangun jam 5 pagi padahal saya berangkat tidur baru jam 1-an dini hari. Sebenarnya badan dan mata ini masih ingin terus beristirahat setelah kemarin seharian terguncang-guncang dalam perjalanan dari Sampit. Toh niat untuk bisa mengikuti perayaan ekaristi mengalahkan keinginan badan yang ingin terus tidur. Tuan rumah bangun ketika saya sudah selesai mandi dan mereka juga segera bersiap. Bu Agus membuatkan teh untuk kami berdua, sedangkan Pak Agus setelah mematut diri segera mempersiapkan mobil.

Teh yang sudah disiapkan tidak kami minum karena kami mengejar waktu agar jangan terlambat sampai di gereja. Ternyata gereja paroki itu dekat saja. Tidak sampai 5 menit bekendaraan kami telah sampai di sana. Saya langsung mencari tempat pada sisi kiri agak ke depan. Masih ada waktu sekitar 15 menit saya gunakan untuk mendoakan ibadat pagi. Saya tidak tahu Pak Agus duduk di mana, karena tadi beliau masih memarkir mobil, sedang saya langsung masuk ke dalam gereja.

Setelah kurang lebih 10 menit berdoa saya melihat Pak Agus mendekati saya. Saya melihatnya karena saya berdoa sambil membuka mata, yah saya belum hafal mazmur-mazmur itu maka harus membuka mata untuk mendoakannya. Rupanya Pak Agus setelah memarkir mobil tidak langsung masuk gereja tetapi langsung menemui pastor paroki. Pantas saja saya tidak melihat keberadaannya dalam gereja. Rupanya Pak Agus berinisiatif meminta izin untuk saya agar bisa mempersembahkan misa hari itu. Gayung bersambut karena pastor paroki, Rm. Greg CP tidak keberatan bahkan senang.

Maka setelah meringkas buku doa, saya berjalan mengikuti Pak Agus menuju sakristi. Di sana Rm. Greg telah menunggu. Segera saya mengenakan alba dan kasula. Ada kebahagiaan dalam hati bisa mempersembahkan misa hari ini, sudah lama saya tidak mempersembahkan ekaristi, karena sejak tanggal 26 saya berlibur. Maka setelah merayakan perayaan ekaristi bersama Rm. Pur dan Rm Dwi pada Pesta Keluarga Kudus tanggal 27 Desember, baru sekarang saya merayakan perayaan ekaristi.

Misa harian itu diikuti oleh cukup banyak umat. Mereka adalah orang-orang yang menyempatkan diri untuk mendapat ‘secuwil roti’ sebagai bekal hidup satu hari. Dari mereka ada suster-suster, ibu bapak dan beberapa anak sekolah. Di awal misa Rm. Greg memperkenalkan saya kepada umat dan di akhir misa saya memperkenalkan diri lebih jauh lagi, mengenai tujuan saya ke Banjarmasin dll. Setelah misa saya sempatkan bercakap-cakap dengan beberapa umat yang hadir. Saya senang karena merasakan kehangatan dan semangat hidup beriman dari beberpa umat yang saya jumpai.

Nasi Kuning ‘seret’

Selepas dari gereja Pak Agus membawa saya mencari sarapan. Beliau mencari warung yang menyajikan menu khas Banjarmasin. Ada banyak menu yang tersaji, dan saya memilih Nasi Kuning Banjar. Saya awalnya tidak tahu apa kekhasannya. Namun setelah menyuapkan sendokan pertama dan melihat lauknya saya baru tahu bedanya dengan nasi kuning yang biasa saya santap di Malang.

Nasi kuning ini, menurut saya memasaknya tidak dengan cara ‘dikaru’ terlebih dahulu, tetapi meminjam bahasa ibu saya memasaknya dengan cara ‘dikeroncong’. Air disiramkan kepada berassehingga menghasilkan nasi ‘akas’ alias tidak menjadi pulen.

Hal ini sangat berbeda dengan nasi kuning jawa yang cenderung pulen-lengket. Nasi kuning Jawa biasanya menggunakan santan. Mirip dengan nasi uduk Betawi atau nasi lemak Malaysia. Memang tidak terlalu lengket, namun menjadi mudah dikunyah. Nasi kuning ini akas-ambyar.

Menurut Pak Agus, orang Banjar suka nasi yang akas. Sebaliknya mereka tidak suka nasi yang pulen lengket. Bahkan beliau bercerita bagaimana tersiksanya ketika beliau berada di Jawa. Karena di sana ia mesti menyantap makanan yang pulen-pulen.

“Nasi yang pulen tidak bisa dinikmati”, begitu alasannya. Saya tidak mengerti bagaimana ia tidak bisa menikmati nasi pulen. Berbeda dengan saya, nasi yang akas ini merupakan tantangan terberat selama makan. Saya terus ‘kesereten’ alias kesulitan menelan makanan itu. Tiap beberapa sendokan saya mesti minum air.

Nasi kuning ini tidak lembut sama sekali. Namun sungguh menyehatkan. Anda boleh percaya boleh tidak. Bukan hanya menyehatkan badan tetapi juga jiwa. Kalau Anda tidak percaya silahkan perhatikan baik-baik penjelasan saya berikut.

Makanan yang keras membutuhkan waktu yang lama untuk mengunyahnya. Jika kita terburu-buru dalam mengunyah dan tergesa menelannya, kita akan sakit. Terlacu cepat menelan juga akan membuat ‘kesereten’. Maka lama mengunyah dan pelan-pelan akan membuat nikmat makan. Lamanya makanan dikunyah membuat enzim-enzim di dalam mulut akan bercampur sempurna. Enzim itu sangat bagus untuk pencernaan. Makanan yang masuk ke dalam usus setelah bercampur sempurna dengan enzim mulut, akan menyehatkan usus. Karena usus tidak akan kesulitan dalam menggilingnya. Jika tidak percaya tanyakan kepada dokter pribadi Anda.

Demikian juga ‘makanan keras’ dalam hidup. Ketika perlahan-lahan kita kunyah, akan meresap manis dalam hidup. Makan keras itu seumpama berbagai kesulitan yang kerap singgah dalam hidup. Jika setiap kesulitan itu kita kunyah perlahan, kita akan menemukan sari patinya yang menyehatkan jiwa. Jika kalian tidak percaya, silahkan mencoba.

Sebagai kawan menyantap nasi kuning, saya memilih ikan gabus dan telor bacem. Ikan gabusnya juga dimasak semi bacem, tetapi tidak sekering telor bacem, masih agak basah. Rupanya ikan gabus inilah yang menjadi kekhasan, kalau nasi kuningnya tidak diberi lauk ikan gabus maka bukan nasi kuning Banjar.

Biasanya saya menikmati nasi kuning dengan ayam goreng atau urap-urap. Sekarang menikmati nasi kuning dengan ikan gabus. Sejujurnya itu ikan gabus pertama yang pernah saya makan. Sebagai orang gunung, ikan bukanlah makanan utama. Kami terbiasa dengan sayuran.

Hampir satu jam kami menghabiskan waktu untuk sarapan ini. Dan yang menarik dari nasi kuning ini sejatinya bukan wujudnya yang tidak pulen, atau ikan gabus yang menjadi lauknya. Tetapi proses makan itu sendiri. Nasi yang akas ini sungguh mengajari untuk sabar. Perlahan-lahan dalam mengunyah makanan. Perlahan dalam mengunyah hidup. Sabar memberi banyak peluang untuk mendapatkan yang terbaik.

Sebelum pulang kami tidak lupa memesan beberapa bungkus makanan dan kue-kue. Ada putrid kaca dan sunduk lawang di sana. Namun ada baiknya kalau saya ceritakan besok.

(bersambung)

Sebelumnya : Air Mata

Sesudahnya : Putri Kaca dan Sunduk Lawang

Sesudahnya lagi : Sop Buntut

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun