Seorang yang belajar menjadi kritis bertanya, ‘mengapa mesti ada air mata?’ Tidak diperlukan jawaban biologis logis. Karena yang diungkapkan bukanlah apa yang seperti tertulis. Kawan tadi hendak berkata mengapa manusia mesti menangis. Dan menurutnya tangisan selalu berasal dari hati yang teriris.
Saya tidak selalu setuju dengan gagasan teman tadi. Karena tangisan tidak selalu berasal dari hati yang sedih, bahkan kegembiraan juga mengalirkan air mata. Dan meskipun air mata itu mengalir dari kesedihan, itu tidak mengapa. Karena akan menjadi bermakna ketika mengalami kegembiraan. Hanya yang pernah mengalami kesedihan mendalam, akan menghargai tiap jengkal kebahagiaan.
Jalanan di kota Banjarmasin telah sepi, karena hari telah mendekati dini hari. Sesampai di rumah ternyata Bu Agus belum tidur. Beliau masih menunggu kami, sementara itu mertuanya telah pulang. Kami kembali ngobrol ngalor-ngidul di ruang keluarga. Pada awalnya yang kami bicarakan adalah tema-tema ringan, bagaimana tadi perjalanan saya, apa tadi yang kami makan, dll. Hingga kami membicarakan tema yang cukup sensitif, yang sudah saya perkirakan akan kami singgung, yaitu pengalaman kesedihan yang pernah mereka alami. Anaknya gagal dalam belajar.
Belajar
Ada berbagai cara seseorang belajar. Ada yang harus mengalami terlebih dahulu. Ada yang hanya melihat saja. Atau mesti diberitahu. Mereka yang belajar karena mengalami biasanya akan melekat lama. Yang belajar karena diberitahu, biasanya akan mudah lupa. Segala pengalaman, entah baik atau buruk adalah sarana belajar. Maka tidak heran jika kemudian ada ungkapan, pengalaman adalah guru yang terbaik. Tergantung mau belajar darinya atau tidak.
Taruhlah contoh seorang anak yang belajar mengenali bahwa api itu panas. Ia akan meyakini bahwa api itu panas jika pernah merasakan jilatan api. Mereka yang pernah menyentuh setrika yang panas, kesenggol knalpot panas, akan berkata; bukan hanya api yang panas. Lalu dia mulai menghindari apa-apa yang panas. Ada juga yang diberitahu mamanya; api itu panas, air mendidih itu panas, kompor iti panas, dll. Anak itu pun belajar.
Bunga, puteri semata wayang keluarga Agus, yang saya singgung di atas, kemarin dulu tidak naik kelas. Kejadian itu sungguh suatu pukulan yang sangat berat bagi mereka. Ada banyak alasan yang membuat mereka malu dan terpukul. Pertama, Bunga adalah ‘duta sekolah’ yang tahun lalu datang ke kampung halamannya, ke sekolahnya yang lama untuk mempromosikan sekolahnya yang baru. Ternyata sekarang dia tidak naik kelas. Apakah anak itu sungguh bodoh? Atau ada hal lain yang berada di luar pengetahuan orangtuanya yang membuat Bunga tidak naik kelas.
Sejatinya orangtua telah melakukan yang terbaik yang mereka bisa. Si anak telah di masukkan ke dalam asrama. Harapannya, si puteri akan memperoleh banyak pendampingan sehingga sukses dalam belajar. Namun ada hal-hal yang di luar perkiraan, yaitu perhatian dan relasi dengan sekolah dan anak. Di kota Malang, si anak memiliki seorang tante yang kerap datang mengunjunginya. Bukan sekadar mengunjungi, tetapi juga membantunya. Si tante juga yang selalu datang ke sekolah mewakili orangtua Bunga.
Apakah yang salah dengan ini semua? Apakah kunjungan si tante salah? Apakah bantuan si tante salah? Tentu saja bukan. Kunjungan akan memberi kelegaan dan terbebas dari kungkungan kangen dan kesendirian. Yang kurang tepat adalah komunikasi yang kurang sempurna. Segala hal yang disampaikan oleh pihak sekolah melalui wali kelas, oleh tante Bunga tidak pernah diteruskan kepada orangtuanya. Tante ingin melindungi kemenakan agar tidak kena marah. Ternyata niat baik tidak selalu berbuah baik. Apalagi jika niat tidak memperthitungkan hasil dan tujuan. Semuanya bisa menjadi bencana.
Hal itulah yang membuat orangtua Bunga tidak pernah merasa khawatir dengan anaknya. Sedangkan suster di asrama beranggapan bahwa masalah Bunga telah diurus oleh orangtuanya sendiri. Sebab setiap kali menerima raport, yang datang adalah keluarga, yaitu tantenya. Maka komunikasi sungguh-sungguh macet, bukan karena sulit berkomunikasi, tetapi karena saling mengandaikan. Akibatnya, ketika Bunga tidak naik kelas, dunia seakan-akan runtuh dan keluarganya menjadi gempar.
Banyak masukan mereka terima. Misalnya: memindahkan ke sekolah lain, meminta dispensasi agar distempel naik lalu pindah sekolah dst.dst.dst. Mereka sungguh-sungguh telah kehilangan kejernihan dalam berpikir, dan kebeningan dalam beriman. Toh di saat akhir mereka masih bisa menemukan satu pilihan terbaik. Pekutusan diberikan kepada Bunga. Karena nasi telah menjadi bubur.
Bubur
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan bubur. Karena bubur tetap bisa dimakan. Memang tidak seperti yang diharapkan. Kalau bisa meramu ulang, tetap akan menajdi santapan yang tak terlupakan. Lihat saja berbagai hidangan bubur yang tersebar di berbagai sudut kota. Mulai dari bubur ayam hingga bubur dengan berbagai varian rasa.
Dengan air mata meleleh di pipi, Bu Agus mengungkapkan semua pergulatan batin mereka. Saya mencoba memahami dan memasukkan dalam hati sebagai sebuah pelajaran. Bahwa sebuah kesedihan, kegagalan, adalah pintu masuk untuk meraih kebahagiaan yang lebih besar. Bukan hanya teori, namun sebuah pengalaman nyata. Bagaimana keluarga ini bergerak lebih maju dengan pengalaman pahit yang mereka alami.
Bahwa Bunga tidak naik kelas tidak pernah diharapkan. Seperti orang tidak pernah mengharapkan bubur tatkala menanak nasi. Toh selalu ada yang bisa dipelajari dan dibuat di kemudian hari. Orang bijak mengatakan bahwa kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Tetapi kegagalan akan tetap sebuah kegagalan jika tidak pernah bangkit dan melakukan yang lebih baik.
Hal yang lebih baik yang akan dipilih adalah yang terbaik bagi Bunga. Memberi kesempatan kepada Bunga untuk menentukan sikap akan jauh lebih bijaksana. Hal itu membuat segala kekalutan batin yang bergolak itu seperti disiram air sejuk ketika Bunga dengan penuh ketenangan memilih untuk tetap bertahan. Ia akan berjuang lebih baik lagi. Ia melihat dengan sungguh-sungguh bahwa tidak naik itu adalah hal biasa, tidak ada yang memalukan. Ia hanya kehilangan waktu satu tahun. Ia akan lulus lebih lambat dari teman-teman sekampungnya. Ia juga memilih untuk pindah jurusan agar lebih sesuai dengan hasrat hati dan kesenangannya.
Air mata yang sekarang meleleh dari pelupuk mata Ibu Agus adalah air mata keharuan. Bagaimana anaknya bisa begitu tenang menerima kenyataan pahit dalam hidupnya. Bagaimana ia bisa begitu tenang menyikapi kesedihan untuk melihat sesuatu yang lebih besar di kemudian hari.
(bersambung)
Sebelumnya : Gambar yang menipu
Sesudahnya : Nasi Kuning Banjar
Sesudahnya lagi : Puteri Kaca dan Sunduk Lawang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H